Kuasa Tumbang Akibat UU Tambang

Kuasa Tumbang Akibat UU Tambang

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. RPP itu merupakan satu dari tiga aturan yang dibahas pemerintah pasca pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pekan lalu pemerintah pusat melucuti kewenangan daerah tentang perizinan tambang.

nomorsatukaltim.com - Meski UU yang penuh kontroversi itu belum berlaku, pemerintah daerah tidak lagi punya kewenangan menerbitkan izin sektor minerba. Pencabutan kewenangan ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Mineral dan Batubara bernomor 1481 dan 1482. Dalam surat yang membahas kewenangan pengelolaan pertambangan mineral batu bara dan pendelegasian penerbitan perizinan sub sektor minerba, kewenangan daerah ‘disuntik mati’ pada 10 Desember 2020. “Kami harus menyerahkan seluruh izin eksplorasi maupun operasi yang telah diterbitkan kepada pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM,” kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Timur Christianus Benny sehari setelah kewenangannya dicabut. Selanjutnya, seluruh perizinan akan ditangani oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Dokumen yang diserahkan ke pemerintah pusat ialah izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), IUPK sebagai kelanjutan kontrak atau perjanjian, izin pertambangan rakyat, surat izin pertambangan batuan, izin penugasan, izin pengangkutan dan penjualan, izin usaha jasa pertambangan, IUP untuk penjualan. Hal senada diungkap Kepala Dinas ESDM Kalimantan Utara, Ferdy Manurun Tanduklangi. “Ada tiga RPP dan satu perpres yang disusun terkait UU Minerba. Itu yang kami tunggu,” ujarnya. Ferdy Manurun mengaku sudah menyerahkan seluruh dokumen perizinan ke pusat. “Kewenangan daerah hanya sebatas perizinan pertambangan batuan dan izin pemanfaatan ruang (IPR),” imbuhnya. Di Kaltara terdapat 32 pertambangan minerba dan 42 pertambangan batuan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim,  Seno Aji tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Ia mengatakan, beleid yang melucuti kewenangan daerah ada pada pasal 169 C. Pasal itu berbunyi “Seluruh kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertambangan Minerba wajib dimaknai sebagai kewenangan Pemerintah Pusat”. Sehingga tidak hanya soal izin, dari penetapan rencana pengelolaan minerba, sampai pejabat pengawas pertambangan diambil alih oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara nasional. Anggota Komisi III itu menyebut kebijakan tersebut seperti kembali ke zaman Orde Baru. “Semua dari pusat, seperti kebijakan jaman Pak Harto dulu. Jadi ini tidak membuat daerah berkembang. Kalau menurut saya nanti PAD-PAD daerah akan ditarik ke pusat lagi. Sangat memprihatinkan,” kata Seno Aji baru-baru ini. Politisi Gerindra itu mengatakan, pemerintah daerah hanya akan menanggung dampak dari operasional pertambangan, tanpa ikut menikmati hasilnya. “Karena hasil tambang itu dinikmati oleh pusat. Daerah yang menikmati lubang-lubang bekas galian saja,” kata dia. Menurut Seno Aji, persoalan perizinan seharusnya tetap berada di daerah. Karena mereka yang memahami kondisi daerah. “Misalnya izin baru di pusat, tetapi izin perpanjangan dan izin kerja, serahkan ke. Kemudian izin-izin penertiban penambangan batuan, penambangan batu, itu dikembalikan di daerah. Ini yang perlu menjadi bahan diskusi di pusat. Supaya ada yang dikembalikan di daerah,” jelasnya. Adapun tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan ialah RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara. Yang mengatur 11 persoalan, termasuk penggolongan komoditas tambang, rencana pengelolaan minerba nasional, sampai perizinan pertambangan. Kemudian RPP tentang Wilayah Pertambangan yang akan mengatur tujuh hal terkait wilayah pertambangan, antara lain, wilayah hukum pertambangan, sampai penetapan wilayah pertambangan. Selanjutnya ada RPP tentang Pembinaan dan Pengawasan serta Reklamasi dan Pasca-Tambang dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan. Ini setidaknya mengatur tentang tujuh hal, seperti pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan, sampai dana jaminan reklamasi dan pascatambang.

DAERAH UNTUNG

Di tempat terpisah, politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syafruddin menambahkan keberadaan UU Minerba, dapat mengurangi dominasi dan penguasaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP/WIUPK). “Saya yakin pemerintah pusat lebih selektif dan lebih profesional bagaimana mengecek kelengkapan dokumen dan syarat-syarat utama,” imbuhnya. Selanjutnya, Syafruddin juga menerangkan, adanya peraturan yang pindah ke Pemerintah Pusat ini menjadi problematika yang sama pada kebijakan sebelumnya. Pada tahun 1999 izin pertambangan berada di pemerintah daerah yakni kabupaten atau kota. Lalu pada tahun 2014 izin dipindahkan ke pemerintah daerah tingkat provinsi. “Itulah yang sering saya bilang. Ini ada pengalihan masalah. Masalah kabupaten atau kota dibawa ke provinsi dan masalah itu dibawa ke Pemerintah Pusat. Dan semoga saja permasalahan-permasalahan itu cepat terselesaikan atau clear. Karena masalah ini ruwet,” bebernya. Ia juga mengungkapkan, pada permasalahan yang sering terjadi khususnya di Provinsi Kaltim sendiri adalah mengenai tumpang tindih lahan, hingga lahan yang berstatus dilindungi namun, digarap untuk aktivitas tambang. “Tidak subtansif, otonomi daerah itu. Dan ini daerah tidak diberi kewenangan penuh untuk bagaimana mengelola dan membangun daerahnya,” ujar Syafruddin. Ditanya mengenai perubahan kebijakan tersebut, Syafruddin meminta pemda tak khawatir. “Pemda mendapatkan jatah 10 persen dari laba bersih dari semua perusahaan tambang itu,” katanya. Hal itu sesuai dengan Pasal 129 ayat 1 di mana  pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam dan Batubara wajib membayar sebesar empat persen kepada Pemerintah Pusat dan enam persen kepada Pemerintah Daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. Ia pun berharap, dengan adanya kebijakan tersebut dapat memperbaiki dan mengurangi permasalahan di Kaltim. “Sebenarnya tidak ada masalah untuk perbaikan dan untuk mengurangi masalah. Supaya diurai secara tuntas, dan nanti tinggal kita awasi,” pungkasnya.

KATA ASOSIASI

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara (APBI) Hendra Sinadia mengatakan UU Minerba dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian investasi jangka panjang di sektor pertambangan. "UU bisa diharapkan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di tengah masa sulit pandemi COVID-19," ujar Hendra Sinaga dilansir Bisnis.com, pasca pengesahan UU Minerba oleh DPR RI. Dia meyakini UU Minerba dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian investasi jangka panjang baik bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta bagi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) yang memenuhi persyaratan. Selain itu, UU ini juga memperhatikan aspek lingkungan di mana sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan reklamasi diperberat begitu juga dengan aktivitas penambangan tanpa izin. Secara umum, lanjutnya, UU ini juga menjamin keseimbangan antara kepastian berusaha kepastian hukum dengan kepatuhan pengusaha dalam melakukan kegiatan usahanya dengan menaati peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan kewajiban terhadap penerimaan negara. "Pemerintah juga memberikan insentif jaminan kelangsungan kegiatan usaha perusahaan tambang yang melakukan investasi untuk peningkatan nilai tambah (hilirisasi), pengembangan atau pemanfaatan batubara dengan memberikan jaminan perpanjangan kegiatan usahanya. Sementara itu pelaku usaha juga dituntut secara konsisten menerapkan good mining practices," katanya. Hendra menambahkan dampak UU ini diharapkan bisa menjadi pendorong perekonomian dan investasi sektor pertambangan di tengah kondisi pandemi virus Corona. Dia menambahkan, UU ini cukup memberikan kepastian jaminan investasi jangka panjang bagi existing investor baik pemegang KK, PKP2B, IUP dan IUPK. Namun bagi investor asing masih diragukan terutama jika aturan kewajiban divestasi dicantumkan di UU. Dia menilai pada dasarnya aturan kewajiban divestasi di Indonesia terlalu ketat dengan minimum 51 persen yang diatur di dalam peraturan pemerintah (PP) akan sulit mengharapkan investor asing yang berminat apalagi jika ketentuan tersebut diatur di UU. Dia menyarankan agar aturan divestasi yang berlaku sekarang sudah cukup di mana dalam UU hanya mencantumkan kewajiban sedangkan detailnya diatur di PP. Dengan pengaturan detail divestasi dalam PP, maka akan memudahkan pemerintah untuk mengubah batas minimum divestasi saham asing. Meski begitu, ia meragukan investor asing karena aturan kewajiban divestasi. Pemerintah perlu mengatur soal divestasi tetapi sebaiknya besaran dan tata caranya diatur di dalam level Peraturan Pemerintah. (tor/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: