Vaksin COVID-19 atau Donor Plasma? Ini Kata Pengamat
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Berbagai macam kabar soal vaksin COVID-19 beredar. Mulai dari list harga enam vaksin yang tersebar di Indonesia. Hingga keputusan Presiden Joko Widodo menggratiskan vaksin untuk masyarakat.
Menariknya, kabar itu tersebar hampir bersamaan. Dalam waktu berdekatan. Dan menimbulkan kebingungan. Seperti yang disampaikan Pengamat Sosial, Purwadi. Dikatakan pria yang juga akademisi di Universitas Mulawarman ini, kabar tersebut sangat berdekatan dan cukup menimbulkan banyak pertanyaan. Lalu, beberapa vaksin seperti AstraZeneca, Sinovac, Bio Farma, PFizer, Moderna, Sinopharm, sudah memiliki harga tertentu. Dari Rp 57 ribu, hingga Rp 2,1 juta. Menanggapi itu, Purwadi menyampaikan agar kualitas vaksin COVID-19 juga harus dipastikan keampuhannya. Terlebih tiap vaksin memiliki dosis yang berbeda. "Apakah ada dampak? Apakah ada kerugian? Kenapa bisa begitu? Itu semua kan pertanyaan yang timbul dikalangan masyarakat," jelas Purwadi, baru-baru ini. Purwadi membeberkan dengan jumlah penduduk yang sampai 200 juta. Lalu, dengan beberapa daerah yang remote pemerintahannya juga jauh. Unsur pendistribusian juga perlu diperhatikan. Agar kualitas vaksin bisa tetap terjaga. Dibeberkan Purwadi, beberapa pihak swasta juga ada yang sudah membuka pendaftaran untuk vaksin COVID-19 mandiri. Vaksin mandiri sendiri ditujukan untuk masyarakat yang memiliki dana lebih dan bisa langsung mendaftar ke pihak swasta. "Artinya kan, ini jadinya begini. Persentase di swasta 70 persen, ke negara 30 persen. Berarti, penyerahan grafik kesehatan ke masyarakat. Terus negara lepas tangan," sindir Purwadi. Dilanjutkan Purwadi, risiko-risiko dan tingkatan dosis yang berbeda juga bisa jadi peluang bisnis. Yang memang berpotensi untuk menyembuhkan, bisa saja ditaruh di rumah sakit yang berkelas. Kesimpangsiuran seperti itu yang dikhawatirkan Purwadi. Kemudian, mengenai kabar penggratisan vaksin dari Presiden. Ditanggapi Purwadi, kebenaran tersebut harus diyakinkan. Seperti, apakah seluruh masyarakat mendapatkan? Atau bagaimana? Karena menurut Purwadi, penerimaan jatah vaksin untuk Indonesia baru 20 persen dari jumlah penduduk. "Mau nunggu sampai kapan kita dapat gratisnya, harus clear dulu disitu," tandasnya. Diungkapkan Purwadi, jangan sampai kalimat gratis itu membuat masyarakat jadinya harus mengantre panjang. Namun, dengan kepastian yang tidak ada ujungnya. Lebih lanjut, mengenai donor plasma yang juga bisa menjadi alternatif lain selain vaksin, diakui Purwadi jika hal tersebut benar adanya, bisa saja itu lebih diminati. Dan berpeluang tinggi untuk bisa dilakukan. Walaupun kondisi di lapangan, banyak penolakan terhadap plasma tersebut. "Daripada menggunakan rapid yang hanya 30 persen tingkat keakuratannya, buat apa? Lebih efisien kan jadinya jika plasma itu benar ada. Soal akurasi rapid saja masih simpang siur," ujarnya. Purwadi menyatakan kepada pemerintah pusat, provinsi, juga daerah, untuk tidak terburu-buru. Tidak mendewakan vaksin. Penerapan protokol kesehatan (Prokes) juga harus tetap diterapkan. Karena kecurigaan rutinnya pencanangan vaksin COVID-19, isu Prokes akan dicabut justru lebih mengkhawatirkan. "Beberapa tempat kan covid, naik terus, jangan sampai itu (Prokes) dilepas, angka kasusnya meninggi karena pemerintah terlalu mendewakan vaksin," katanya. (nad/yos)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: