Hutan Kalimantan Timur Makin Kritis
OLEH: CIKRA WAKHIDAH*
Pada tahun 2017, World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia mempublikasi laporan berjudul The Environmental Status of Borneo 2016. Menurut laporan itu, dari sekitar 74 juta hektare hutan pada tahun 2015, sebanyak 55 persennya bukan lagi hutan. Dalam skenario Business As Usual (BAU), WWF memperkirakan Borneo akan kehilangan 75 persen hutan pada 2020.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) telah menganalisis, perusahaan tambang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebanyak 3.585 IUP. Sebagian besar adalah perusahaan batu bara. Dari total perusahaan tambang itu, ada 3.092 yang tidak membayar dana jaminan reklamasi. Hal itu menyebabkan Kalimantan penuh bopeng. Lubang-lubang tambang yang dipenuhi dengan air mudah sekali ditemukan. Di beberapa bertempat. Tepat di pinggir jalan.
Sedangkan berdasarkan data informasi publik Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), luas kebakaran hutan dan lahan di Kaltim tahun 2014-2019 sangat fluktuatif. Tahun 2019 mengalami penurunan. Dari 26.605,57 hektare menjadi 6.715,00 hektare. Namun titik panas (hotspot) terdeteksi pada satelit NOAA yaitu 688 titik hotspot. Terdapat kenaikan jumlah hotspot pada bulan Agustus ke September. Dari jumlah 91 menjadi 700 titik hotpsot.
Ada tiga penyebab hutan Kaltim makin kritis. Pertama, belum optimalnya perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE). Seperti kebakaran hutan, illegal logging/perambahan, dan gangguan terhadap tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. Contohnya di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Kedua, belum optimalnya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan rehabilitasi hutan dan lahan. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas lahan kritis Kaltim seluas 12.731.562,37 hektare. Dengan pengelompokan 191.051,79 hektare sebagai kritis dan 129.911,88 hektare sangat kritis.
Terakhir, banyaknya potensi hasil hutan yang belum tertangani dengan baik. Potensi hutan yang dimiliki oleh Kaltim sangat banyak. Yang paling menonjol adalah hasil hutan kayu dari hutan alam dan tanaman.
Beberapa peluang dapat meningkatkan potensi hasil hutan. Salah satunya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kayu. Menurut laporan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), hilangnya potensi PNBP kayu mencapai Rp 5,24-7,24 triliun per tahun selama 12 tahun. Dari 2003 hingga 2014.
Banyak solusi yang telah dirumuskan dan dirumuskan. WWF mendorong kolaborasi korservasi. Antara pemerintahan Indonesia dengan Brunei dan Malaysia. Solusi lain, menerapkan green business. Ekonomi hijau ini bisa dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan yang berkelanjutan hingga perkebunan sawit yang bertanggung jawab.
Namun, peran pemerintah sangat besar. Untuk tetap menyelesaikan permasalahan hutan. Yang saat ini telah berada dalam kondisi kritis. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar. Untuk mengelola hutan dengan prinsip lestari, serta menggandeng masyarakat dan stakeholder. Untuk bekerja sama memperbaiki hutan Borneo. (*Alumni Fakultas Hukum Unej/Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: