Sidang Kasus Suap Ismunandar cs: Tak Setor Fee, Tak Dapat Proyek
“Semenjak kepemimpinan Ismunandar sebagai Bupati Kutim, apabila rekanan swasta tidak memberikan uang kepada pejabat lingkungan Pemkab Kutim, maka bisa dipastikan kontraktor tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan proyek.”
nomorsatukaltim.com - PERNYATAAN lantang nan tegas ini disampaikan Sernitha, Direktur Utama CV Anugrah Eva Sejahtera, dalam persidangan kasus penerimaan suap lima pejabat tinggi Pemkab Kutim yang menyeret Ismunandar cs, Senin (7/12/2020). Sernitha merupakan satu dari empat rekanan swasta yang dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi, dalam persidangan secara daring di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda. Menghadirkan para terdakwa penerima suap, yakni Bupati Kutim nonaktif Ismunandar, sang Istri sekaligus mantan Ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Musyaffa, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Aswandini. Kelima pejabat tinggi Kutim ini didakwa menerima suap berupa uang maupun barang dari para rekanan swasta, dengan nilai keseluruhannya berjumlah Rp 22 miliar. Timbal balik dari sogokan yang mereka terima, dengan menghadiahi para rekanan swasta berupa paket pekerjaan proyek infrastruktur. Kelima pejabat yang saat ini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta tersebut, kembali dihadirkan secara bersamaan dalam sidang dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi yang berlangsung via daring. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK kali ini menghadirkan sebanyak empat saksi. Seluruhnya adalah para rekanan swasta Pemkab Kutim. Di antaranya Sernitha, Direktur Utama CV Anugrah Eva Sejahtera dan Hadija, Direktur Utama PT Azizah. Kemudian ada Aditya Maharani Yuono, Direktur PT Turangga Triditya Perkasa, dan Deki Aryanto, Direktur CV Nulaza Karya. Kedua kontraktor ini merupakan pemberi suap kelima pejabat tinggi Kutim tersebut. Saat ini dua kontraktor tersebut sedang menjalani masa tahanannya. Setelah sebelumnya diadili dalam berkas perkara terpisah. Keempat saksi ini dihadirkan, guna dimintai kesaksiannya dalam tiga berkas perkara dari lima terdakwa. Sidang pun dimulai, ditandai dengan ketukan palu dari Ketua Majelis Hakim. Di awal persidangan, majelis hakim yang dipimpin oleh Agung Sulistiyono dengan didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, lebih dahulu memintai keterangan saksi atas nama Sernitha. Disebutkan, selain mengenal kelima pejabat tinggi Kutim, Sernitha turut mengenali kedua kontraktor Aditya Maharani Yuono dan Deki Aryanto yang saat ini ditahan. Sernitha diketahui memiliki tujuh perusahaan kontraktor di luar CV Anugrah Eva Sejahtera. Di mana ia selaku wakil direktur di ketujuh perusahaan tersebut. Diketahui, seluruh perusahaan milik Sernitha, telah mendapatkan pengerjaan proyek Penunjukan Langsung (PL) di lingkungan Pemkab Kutim tahun anggaran 2020. Dengan jumlah proyeknya sebanyak 30 paket proyek PL senilai Rp 6 miliar. Proyek tersebut terbagi dua, 15 paket dengan nilai Rp 3 miliar di bagian aset, dan sisanya di bagian perlengkapan. Sementara itu, untuk di tahun anggaran 2019, diketahui Sernitha telah mengerjakan proyek PL sebanyak 70 paket senilai Rp 15 miliar. Proyek PL tersebut terbagi dua, Rp 5 miliar di bagian perlengkapan dan Rp 10 miliar di bagian aset. Majelis Hakim pun mempertanyakan cara saksi bisa mendapatkan pekerjaan proyek PL hingga sebanyak itu. Dijelaskan Sernitha, Januari 2019 adalah momen pertama kalinya dia bertemu dengan terdakwa Musyaffa selaku Kepala Bapenda. Saat itu, Sernitha memberanikan diri untuk bertanya, terkait ada tidaknya pekerjaan proyek PL yang dapat dikerjakan oleh perusahaan miliknya. Bukan tanpa maksud Sernitha memilih untuk menghadap ke terdakwa, yang sebenarnya bukan pejabat teknis pelaksana proyek di lingkungan Pemkab Kutim. Namun dia telah mengetahui, kalau Musyaffa lah sosok “mafia” di balik pengatur pengerjaan proyek di lingkungan Pemkab Kutim. "Saya sudah mengetahui kalau pak Musyaffa dapat mengatur proyek PL. Karena saya sudah dua kali melihat Deki bertemu dengan Musyaffa mengatur proyek. Makanya saat pertemuan itu, saya berani bertanya kepada pak Musyaffa, apakah ada proyek yang bisa saya kerjakan," ungkapnya di dalam persidangan. Saat pertemuan itu, Musyaffa tanpa basa basi menyampaikan, akan kembali menghubungi Sernitha apabila ada proyek yang dapat dikerjakan. Selang satu bulan kemudian, Sernitha ditelepon oleh Musyaffa. Dalam sambungan telepon, terdakwa menyampaikan ada proyek yang dapat dikerjakan oleh Sernitha. "Kemudian saya datang ke kantor pak Musyaffa untuk menanyakan nama paketnya. Saat bertemu, pak Musyaffa menyampaikan jika ada fee sebesar 15 persen dari nilai kontrak yang harus dibayar di muka sebelum proyek tersebut didapatkan. Kalau tidak bayar, saya tidak dapat proyek," terangnya. Agar mendapatkan proyek tersebut, Sernitha diminta untuk menyanggupi permintaan Musyaffa. Namun Sernitha kembali meminta, agar fee dapat dibayar secara bertahap. Dikarenakan saat itu dirinya belum memiliki uang. Permintaan itu pun disetujui oleh terdakwa Musyaffa. "Kemudian saya memberikan paket pekerjaan apa saja yang sudah pernah saya kerjakan sebelumnya. Saat itu pak Musyaffa langsung menjanjikan akan menguruskan proyeknya ke Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Saat proses pengurusan ke Bappeda, pak Musyaffa sudah saya beri uang terlebih dahulu," terangnya. Benar saja, usai memberikan sejumlah uang kepada Musyaffa, proyek langsung diterima oleh Sernitha. Kala itu, saksi mendapatkan proyek tahun anggaran 2019, di bagian perlengkapan dan aset senilai Rp 10 miliar. "Terdakwa memberikan saya daftar pekerjaan proyek PL dan meminta saya untuk mengecek di bagian perlengkapan dan aset, untuk mengetahui apakah di DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) sudah ada atau belum," ucapnya. Singkatnya, Sernitha lalu mendapatkan kabar dari seorang staf di Bappeda bagian perlengkapan dan seorang staf di bagian aset. Staf itu menyampaikan, kalau anggaran untuk proyek PL yang akan dikerjakan Sernitha sudah tersedia. "Setelah angaran tersedia, saya datang ke kantor bagian perlengkapan dan bagian aset untuk dibuatkan kontrak. Dengan menyediakan data CV (perusahaan) yang saya miliki," ucapnya. Masih di tahun anggaran 2019, selain mendapatkan proyek dari terdakwa Musyaffa, Sernitha juga mengaku telah mendapatkan proyek di bagian aset. Kali ini berkat campur tangan terdakwa Suriansyah, selaku Kepala BPKAD. Nilai proyek yang diterima Sernitha dari kakak kandung Musyaffa kala itu sebesar Rp 5 miliar. Saat itu Sernitha mendatangi Suriansyah, menyampaikan dirinya telah mengerjakan pekerjaan cleaning service dari Januari 2019. Namun pekerjaan tersebut belum dibayar senilai Rp 4 miliar. "Saat itu, saya juga mendapatkan proyek lain senilai Rp 1 miliar, sehingga total proyek dari pak Anto (Suriansyah) sebesar Rp 5 miliar," ucapnya. Proyek pekerjaan dari terdakwa bukannya tanpa imbalan. Kepada Sernitha, pria yang akrab disapa Anto itu meminta fee sebesar 10 persen. Dengan demikian, total proyek yang didapatkan Sernitha dari kakak beradik ini totalnya sebesar Rp 15 miliar. Karena keloyalan memberikan fee kepada kakak beradik tersebut, kontraktor ini pun mendapatkan hadiah proyek lagi untuk di anggaran tahun 2020. Kala itu Sernitha mendapatkan proyek PL dengan jumlah 30 paket senilai total Rp 8 miliar. Yang terbagi dari 15 paket proyek PL bagian aset sebesar Rp 3 miliar. Sisanya sebanyak 19 paket proyek PL di bagian umum pengadaan. Untuk di anggaran tahun 2020, semua proyek berasal dari campur tangan terdakwa Musyaffa. Agar mendapatkan proyek tersebut, prosesnya sama dengan yang dilakukan Sernitha di tahun anggaran 2019. Yakni dengan mendatangi Musyaffa untuk diberikan pekerjaan proyek, dan tetap harus membayar fee sebesar 15 persen. Sernitha lalu merincikan pemberian fee kepada terdakwa Musyaffa dan Suriansyah. Disebutkannya, dirinya ada memberikan uang sebanyak empat kali di 2019. Untuk proyek di Bagian Perlengkapan melalui APBD Murni Rp 5 miliar, Sernitha memberikan fee 15 persen dari total keseluruhan proyek. Atau sebesar Rp 750 juta dari nilai proyek yang diserahkan ke terdakwa Musyaffa sebanyak dua kali. Pertama, uang sebesar Rp 300 juta diberikan dalam rentang Januari dan Februari 2019. Lalu uang sebesar Rp 450 juta diberikan pada Juni 2019, setelah pembayaran pekerjaan cair. Sedangkan untuk proyek di APBD Perubahan di Bagian Perlengkapan, saksi juga memberikan fee 15 persen dari proyek senilai Rp 5 miliar atau Rp 750 juta. Fee tersebut diserahkan sebanyak dua kali, pertama Rp 200 juta pada Juli 2019 dan Rp 400 juta pada Desember. Untuk kekurangan Rp 150 juta, saksi mengatakan tidak membayar lagi ke Musyaffa karena sudah tidak punya uang lagi. Kepada terdakwa Suriansyah, saksi mengaku memberikan Rp 400 juta pada Januari 2019 sebagai komitmen fee 10 persen dari proyek senilai Rp5 miliar. Uang itu saksi serahkan secara langsung kepada terdakwa. Selain kepada Musyaffa dan Suriansyah alias Anto, saksi juga mengaku memberikan uang kepada salah seorang pegawai sebesar Rp 25 juta. Lalu ada dua bawahannya, masing-masing diberikan uang sebesar Rp 15 juta dan Rp 3 juta. Ketua Majelis Hakim lalu bertanya alasan Sernitha yang mau saja memberikan fee kepada kedua terdakwa kakak beradik tersebut. Dengan lantang Sernitha menyampaikan, semenjak kepemimpinan Ismunandar sebagai Bupati Kutim, apabila rekanan swasta tidak memberikan uang kepada pejabat lingkungan Pemkab Kutim, maka bisa dipastikan kontraktor tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan proyek. Paling sadisnya, proyek yang telah dikerjakan kontraktor tidak akan dibayarkan, sebelum fee diberikan. Hal itulah yang membuat para kontraktor, mau tak mau, harus memberikan uang kepada pemalak yang berkedok sebagai pejabat di Pemkab Kutim. Para kontraktor terjebak di dalam kondisi sistem pemerintahan yang kotor. "Termasuk saya, walaupun beberapa pekerjaan cleaning service sudah saya laksanakan sejak awal tahun, jika saya tidak memberikan uang, maka saya tidak akan menerima pembayaran atas pekerjaan yang sudah saya kerjakan. Dan hal ini sudah menjadi rahasia umum di antara para kontraktor di Kutai Timur," pungkasnya. Usai meminta keterangan saksi Sernitha, giliran direktur utama CV Azizah, Hadija yang dimintai keterangan oleh majelis hakim. Kontraktor yang bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa ini menyampaikan, perusahaannya telah mendapatkan pengerjaan proyek di Pemkab Kutim di tahun anggaran 2019 dan 2020. Total ada 23 paket proyek PL yang dikerjakan di tahun anggaran 2019. Dengan rata-rata nilai proyeknya di angka Rp 200 juta. Dan ada 11 proyek di tahun 2020, dengan nilai rata-rata yang sama. Seluruh proyek ini pengerjaannya di BPKAD. Dijelaskan Hadija, dirinya menerima proyek disana setelah mengajukan proposal kepada Suriansyah. "Pak Anto (Suriansyah) menyampaikan, agar memasukkan proposal kepada beliau. Nanti kalau ada pekerjaan dikasih. Setelah itu kerjaan dikasihkan ke perusahaan saya, melalui adik sepupu saya," ungkapnya. Dalam keterangannya, menjawab pertanyaan JPU KPK, saksi Hadija mengatakan untuk proyek di BPKAD senilai Rp 2 miliar belum ada memberikan fee proyek kepada terdakwa Suriansyah. Karena proyek yang sudah dikerjakan belum dibayar seluruhnya. Namun Hadija mengaku berencana akan memberikan sebesar Rp 50 juta seandainya proyek telah dibayar. "Tapi waktu saya menagih uang pekerjaan saya, pak Anto malah minjam uang ke saya Rp 500 juta. Karena tidak enak dan takut pekerjaan saya tidak dibayar, jadi saya meminjamkan tanpa jaminan dan tanpa surat utang," terangnya. Sementara itu, Hadija mengatakan tak pernah memberikan fee proyek kepada Encek UR Firgasih selaku Ketua DPRD Kutim kala itu, ataupun Ismunandar sebagai Bupati Kutim. Selanjutnya, persidangan kembali menghadirkan dua saksi pemberi suap lima pejabat tinggi Kutim. Ialah Aditya Maharani Yuono dan Deki Aryanto, yang saat ini tengah menjalani hukumannya di Rutan KPK di Jakarta. Singkat cerita, apa yang disampaikan kedua kontraktor ini, masih serupa dengan apa yang telah terungkap di dalam fakta persidangan atas perkara mereka sebelumnya. Saksi Aditya Maharani Yuono, selaku Direktur PT Turangga Triditya Perkasa, mengaku terpaksa menuruti kemauan Ismunandar, Musyaffa, Suriansyah, dan Aswandini yang meminta sejumlah uang ataupun barang. Dirinya mau tak mau, harus mengikuti sistem pemerintahan kotor yang diatur Ismunandar kala itu. Di mana para kontraktor wajib memberikan fee dari nilai proyek yang dikerjakan. Apabila tak mengikuti aturan tersebut, maka kontraktor tak mendapatkan pekerjaan proyek. Aditya Maharani menyebutkan, telah memberikan sejumlah uang dan barang senilai Rp 6,1 miliar, yang terbagi sebesar Rp 5 miliar di Oktober-Desember 2019, dan Rp 1,1 miliar dari pemberian sepanjang Februari hingga Juni 2020. Timbal balik yang didapatkan perempuan yang akrab disapa Dita itu, ialah penerimaan puluhan pengerjaan proyek PL di lingkungan Pemkab Kutim. Khusus untuk anggaran Tahun 2019-2020, sedikitnya saksi menerima 19 proyek PL serta 6 proyek lelang di Dinas PU Kutim. Semua pengerjaan proyek itu tak terlepas dari hasil campur tangan kakak beradik, Musyaffa dan Suriansyah yang diperintahkan oleh sang Bupati Ismunandar. Selama mengerjakan puluhan proyek PL, diketahui saksi menggunakan bendera perusahaan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan, setiap perusahaan dibatasi hanya mendapatkan 5 hingga 7 proyek. Sementara itu, saksi Deki Aryanto selaku Direktur CV Nulaza Karya, mengaku telah memberikan suap kepada para terdakwa pejabat tinggi Kutim, senilai Rp 8 miliar. Dengan rincian, Deki Aryanto memberikan uang sebesar Rp 5 miliar kepada Musyaffa sesuai permintaan Ismunandar. Hasil dari pemberian itu, Deki Aryanto menerima pengerjaan berupa proyek PL di Dinas pendidikan sebesar Rp 45 miliar. Total, ada sebanyak 407 proyek, dengan nilai Rp 150-175 juta per kegiatannya. Proyek ini didapatkan dari hasil campur tangan Musyaffa dan Suriansyah. Proyek PL sebanyak itu dikerjakan oleh saksi dengan menggunakan bendera perusahaan berbeda-beda. Selain itu, Deki juga memberikan uang serta barang kepada Istri Bupati Kutim, Encek UR Firgasih yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPRD Kutim. Adapun timbal baliknya, Deki Aryanto mendapatkan sejumlah proyek pengerjaan yang bersumber dari pokok pikiran milik Encek di DPRD Kutim. Nilai per proyek yang dikerjakan Deki kala itu rata-rata sebesar Rp 100 – 200 juta. Dari pengerjaan proyek itu, Deki menyisihkan uang sebagai komisi untuk Encek. Usai mendengarkan keterangan keempat saksi, sidang pun ditutup oleh Agung Sulistiyono dan akan kembali dilanjutkan pada Senin (14/12/2020) mendatang, masih dengan agenda keterangan saksi-saksi. (aaa/zul)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: