Khawatir UU Cipta Kerja Tarik Kewenangan Daerah

Khawatir UU Cipta Kerja Tarik Kewenangan Daerah

Berbagai kalangan menilai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengebiri kewenangan daerah dalam menetapkan rencana tata ruang (RTR) wilayah. Karena itu pula, Panitia Khusus Raperda Kawasan Industri Oleochemical (KIO) Maloy layu sebelum berkembang.

nomorsatukaltim.com - Namun Direktur Jenderal Tata Ruang Abdul Kamarzuki menegaskan kewenangan pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan RTR tidak ditarik ke pusat. “Hanya saja, waktu penetapannya dibatasi untuk memberikan kepastian bagi masyarakat,” kata Abdul Marzuki dalam Sosialisasi Kebijakan Tata Ruang Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang salinannya dimiliki Disway-Nomor Satu Kaltim. Jika melewati batas waktu, RTR yang telah disusun oleh daerah dan mendapat persetujuan substansi akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Sebelum UU CK, Marzuki menyebut produk RTR hanya dimiliki dan disimpan oleh pemerintah. Sebagian besar dalam bentuk fisik (hard copy), sehingga tata ruang terkesan ‘menghambat’ investasi. Masyarakat dan investor yang ingin mengakses informasi RTR harus datang langsung ke kantor pemerintah dan menempuh proses administrasi yang rumit dan lama. Akibatnya, proses penerbitan izin berusaha menjadi rumit dan tidak transparan. “Setelah UU CK, produk RTR dipublikasi oleh Pemerintah melalui berbagai platform, masyarakat dan pihak terkait dapat memanfaatkan informasi RTR secara online,” katanya. Platform produk RTR juga terkoneksi dengan portal pelayanan perizinan, sehingga proses perizinan berusaha dan non-usaha menjadi lebih cepat dan transparan. “Perizinan berusaha yang telah diterbitkan menjadi pertimbangan dalam peningkatan kualitas RTR.” Selain soal kekhawatiran pemangkasan kewenangan pemda dalam perizinan tata ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional juga mencatat isu lain. Pertama  dokumen tata ruang darat, laut, dan udara terpisah-pisah yang menimbulkan gap dan tumpang tindih pemanfaatan ruang.  Kemudian terdapat berbagai dokumen legal perencanaan ruang di level pusat dan daerah, yang dapat berpotensi tumpang tindih dan membuat kompleks perencanaan dan pemanfaatan ruang. (selengkapnya lihat grafis). KOOPTASI DAERAH Jawad Sirajuddin, anggota Komisi IV DPRD Kaltim mengatakan, dua pasal dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) secara tidak langsung mengkooptasi otonomi daerah. “Pasal  9 dan 10 memangkas hak-hak kita di daerah,” katanya. Jawad mengatakan, daerah lebih memahami kebutuhan tata ruang, sehingga pengurusan izin semstinya ada di daerah. “(Dengan UU bru) justru malah bertentangan dengan di atas. Karena kami menyiapkan perda ini kan harus mengacu pada pijakan paying hukum baru,” katanya, Minggu (6/12/2020). Kemudian, Jawad menjelaskan untuk UU Ciptaker sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah (PP), sehingga pihaknya masih ada kesempatan untuk mendiskusikannya kepada pemerintah pusat. “Sifatnya masih menunggu. Dan biasalah untuk UU baru. Pasti ada sosialiasi dulu kepada masyarakat, dan penyesuaian. sikap kami sudah jelas,” katanya. Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Syafruddin mengatakan Pemprov Kaltim sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus Maloy. Tinggal menunggu dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan bagiannya. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berharap pemerintah pusat segera menyelesaikan pembangunannya. “Supaya keberlangsungan pembangunan Maloy ini terus berjalan. Dan kalau stuck kesannya jadi proyek gagal,” tuturnya. Syafruddin juga berharap kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim untuk serius dalam menuntaskan program-program yang telah dicanangkan oleh gubernur sebelumnya. “Artinya butuh kesungguhan dan keseriusan dari Pak Isran dan Hadi untuk menuntaskan dan menjalankannya,” pungkasnya. Sementara itu Asosiasi Pemerintah Kota (Apeksi)  meminta pemerintah memerhatikan berbagai sektor dalam UU Cipta Kerja. Hal itu untuk menjaga desentralisasi kekuasaan yang menjadi ruh reformasi. Sejumlah kebijakan dalam RUU Cipta Kerja yang perlu di perhatikan dalam urusan kewenangan pemerintahan daerah serta antara lain: pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung dan Sertifikasi laik fungsi perkebunan, dan lain sebagainya. Wakil Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP Apeksi Rizal Effendi mengatakan, selain kehilangan kewenangan, daerah juga terancam kehilangan pendapatan. “Bukan hanya kewenangan daerah dihabisi. Tapi pendapatan juga hilang,” kata Wali Kota Balikpapan itu. Sebagai contoh, soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Kalau IMB tidak ada, pemasukan daerah bakal hilang,” kata dia. Di Balikpapan, PAD dari IMB mencapai Rp 15 miliar. (tor/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: