Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (2)

Tanda-Tanda Kematian Demokrasi (2)

Jakarta, nomorsatukaltim.com – Dalam How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengawali catatannya dengan kisah pertengkaran antara Kuda dan Rusa dalam Dongeng Aesop.

Mulanya, Kuda mendatangi Pemburu demi meminta bantuan untuk membalaskan dendamnya kepada Rusa. Pemburu pun setuju. Tetapi ada syaratnya. Pemburu mengatakan, jika Kuda ingin mengalahkan Rusa, ia harus memperbolehkannya menempatkan sepotong besi di mulutnya. Supaya ia bisa dibimbing oleh Pemburu dengan kekang.

Pemburu juga meminta kepada Kuda untuk menaruh pelana di punggungnya. “Supaya aku bisa duduk di sana selagi kita mengejar musuh,” kata Pemburu. Kuda pun setuju dengan permintaan tersebut.

Lalu, dengan bantuan Pemburu, Kuda mengalahkan Rusa. Kemudian Kuda berkata kepada Pemburu, “Sekarang turunlah, dan lepaskan benda-benda ini dari mulut dan punggungku.”

Pemburu menjawab, “Jangan buru-buru kawan. Aku sekarang sudah mengendalikanmu dan lebih suka mempertahankanmu sekarang.”

***

Levitsky dan Ziblatt mengatakan, dalam sistem demokrasi di negara mana pun, politikus kadang menghadapi tantangan berat: krisis ekonomi, memuncaknya ketidakpuasan masyarakat, dan kemerosotan dukungan dari partai-partai politik pendukung pemerintah.

Mereka menyebut, dalam kondisi demikian, terkadang akan muncul orang-orang kharismatik di luar pemerintahan yang menentang tatanan yang dibangun penguasa.

Politikus yang sedang berkuasa bisa tergoda untuk memanfaatkannya. Ia dapat menggunakan energi tokoh kharismatik tersebut beserta para pendukungnya. Demi mengalahkan para pesaing dan mempertahankan kekuasaannya yang sedang berada di ujung tanduk.

Celakanya, tokoh yang disebut kharismatik itu memiliki latar belakang ingin mengubah sistem demokrasi yang sedang diterapkan di negara tersebut. Ia mempunyai riwayat sebagai tokoh ekstremis. Demagok. Pemimpin para penghasut.  

Penguasa merangkulnya dalam keterpaksaan. Jika ia tidak dirangkul untuk menopang kekuasaannya, tokoh tersebut bisa digunakan oleh oposisi yang berusaha menggoyang kursi kepemimpinannya. Levitsky dan Ziblatt menyebut kerja sama seperti ini sebagai “perjanjian dengan iblis”.

Dua profesor dari Harvard University itu menjelaskan, fenomena demikian pula yang mengantarkan Hugo Chavez ke tampuk kekuasaan tertinggi di Venezuela. Perwira militer junior itu tidak pernah memegang jabatan publik. Ia orang luar dalam pemerintahan. Namun kebangkitannya menuju kekuasaan mendapat sokongan dari mantan Presiden Rafael Caldera. Salah seorang pendiri demokrasi Venezuela.

Politik Vanezuela sejak lama didominasi dua partai: Aksi Demokratik yang beraliran kiri-tengah dan partai tengah-kanan Caldera, Partai Sosial Kristen (COPEI). Kedua partai ini saling bergantian menduduki kekuasaan di negara yang terletak di Amerika Selatan itu.

Selama 1980-an, ekonomi Venezuela yang amat bergantung kepada minyak merosot. Hal ini melipatgandakan angka kemiskinan. Rakyat pun kecewa. Di tengah kondisi demikian, ia berusaha merangkul Chavez. Sesudah mendapatkan konstituen anti-sistem Chavez, dukungan publik terhadap Caldera meningkat tajam. “Sehingga dia berhasil menang dalam pemilihan presiden 1993,” ungkap Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die, sebagaimana dikutip Disway Nomorsatu Kaltim, Kamis (26/11/2020).

Kerja sama antara Caldera dan Chavez bukan hanya memenangkan mantan presiden itu ke tampuk kekuasaan Venezuela. Di sisi lain, hal ini membuka pintu bagi Chavez untuk merebut kursi kepemimpinan di negara tersebut. Padahal sebelumnya, ekstremis kiri itu telah terbukti ingin menghancurkan demokrasi di negaranya dengan kudeta militer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: