Tantangan Besar Kepemimpinan Biden- Harris

Tantangan Besar Kepemimpinan Biden- Harris

Washington, nomorsatukaltim.com - Dikutip dari matamatapolitik.com, Joe Biden, mantan wakil presiden dua masa jabatan di bawah Presiden AS Barack Obama dan veteran Senat AS selama 36 tahun, akan menjadi presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Pasangan cawapres yang mendampinginya, Senator Kamala Harris (Demokrat-California), merupakan perempuan kulit hitam Amerika. Sekaligus keturunan orang India-Amerika pertama yang menjabat sebagai cawapres AS.

Capres Demokrat itu diproyeksikan memenangkan Pilpres AS 2020 usai mengantongi kemenangan di cukup banyak negara bagian demi meraih 270 suara electoral college. Negara bagian Pennsylvania, yang dimenangkan capres Partai Demokrat Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016, juga dikuasai Biden dalam hasil penghitungan suara hingga Sabtu (7/11) siang waktu setempat. Perolehan suara di wilayah itu sekaligus memastikan kemenangan elektoral dalam pemilu ketat yang menarik jumlah pemilih tertinggi dalam sejarah. Pada Sabtu, The Associated Press serta banyak jaringan televisi dan media berita arus utama turut mengumumkan proyeksi kemenangannya.

Kemenangan tersebut mungkin melegakan para pendukung Biden setelah beberapa hari yang diliputi kecemasan. Karena banyaknya jumlah surat suara via pos yang harus dihitung usai hari pemungutan suara pada Selasa (3/11). Kemenangan itu juga bisa berfungsi sebagai janji. Meskipun bukan jaminan. Drama kelam di tahun-tahun kepresidenan Donald Trump mungkin akan segera berakhir.

Trump tak mengisyaratkan mengakui kekalahan. Apalagi bersedia lengser begitu saja. Ia juga mempertanyakan keabsahan suara yang dihitung terlambat yang datang melalui surat di berbagai negara bagian yang dimenangkan Biden.

Bagi Biden dan Harris, kemenangan kali ini menandai akhir dari kampanye Pilpres AS 2020. Tetapi awal dari tantangan kepresidenan yang lebih menakutkan. Biden, yang memasuki Gedung Putih sebagai pemimpin eksekutif dengan pengalaman paling lama dalam layanan publik sepanjang sejarah AS sekaligus orang tertua yang menjabat sebagai presiden, akan menjalankan tugasnya di tengah krisis bersejarah pandemi COVID-19 yang telah merenggut lebih banyak nyawa orang Amerika.

Biden dan Harris mungkin harus mengambil alih kekuasaan dengan Senat AS yang masih didominasi Partai Republik. Kecil kemungkinan Partai Demokrat akan merebut Senat hanya dengan mengandalkan pemilihan putaran kedua di negara bagian Georgia pada Januari 2021 dan pemilihan yang belum dipastikan hasilnya di Carolina Utara dan Alaska. Mayoritas kecil Partai Republik masih sangat mungkin terjadi. Kegagalan Demokrat untuk mengambil alih majelis tinggi, bahkan jika mereka menguasai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti yang banyak diharapkan, dapat secara efektif menghalangi atau bahkan mengakhiri agenda kepresidenan Biden.

Biden memenangkan kursi kepresidenan sebagian dengan membangun kembali “tembok biru” untuk Demokrat di negara bagian industri di wilayah Midwestern seperti Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania. Biden juga menancapkan bendera Partai Demokrat di wilayah Sunbelt yang mencakup Arizona, Georgia, dan Carolina Utara. Hingga Minggu kemarin, Biden telah meraih 75,1 juta suara dibandingkan dengan 70,8 juta suara perolehan Trump dan mengklaim rekor suara terbanyak sepanjang sejarah pemilu AS.

Ketika skala pandemi dan kerusakan ekonomi mulai tampak jelas awal tahun ini, kampanye Biden mengisyaratkan bahwa ia menginginkan pemerintahan “seukuran mantan Presiden AS Franklin D. Roosevelt”.

Biden membanggakan rencana untuk mengatasi pandemi COVID-19 dengan memperluas pengujian, mendorong koordinasi yang lebih baik antar negara bagian, serta mengatur pengembangan dan penyebaran vaksin yang cepat. Dia juga mengajukan program untuk memerangi krisis ekonomi yang diciptakan oleh wabah virus. Termasuk pendanaan untuk pemerintah negara bagian dan lokal, uang tunai dan jaminan pengangguran untuk individu dan rumah tangga, serta hibah dan pinjaman untuk usaha kecil seperti bar dan restoran.

Semua itu tampaknya cukup bisa dilakukan di bawah kendali Partai Demokrat yang bersatu. Tetapi jauh lebih sulit jika Senator Partai Republik Mitch McConnell masih memimpin Senat.

Tanpa Senat, kemampuan Biden untuk memberlakukan agendanya akan sangat dibatasi. Bahkan jika ada tindakan eksekutif yang dapat dilakukannya. Biden akan memiliki sedikit lebih banyak keleluasaan dalam urusan luar negeri. Di mana dia akan berusaha menjalin kembali hubungan baik dengan Kuba dan Iran, merundingkan kesepakatan kontrol senjata baru dengan Rusia, dan menangani ancaman nuklir Korea Utara.

Biden juga harus memutuskan bagaimana menangani warisan pendahulunya: apakah akan membiarkan masa lalu berlalu, seperti sikap Obama-Biden terhadap warisan kepresidenan George W. Bush. Sebaliknya, Biden juga bisa berusaha untuk menuntut atau setidaknya menyelidiki kesalahan selama kepresidenan Trump di bawah jaksa agung baru.

Semua pertanyaan ini harus menunggu sampai muncul hasil pasti di pemilihan Senat. Untuk saat ini, setidaknya, Demokrat bisa merayakan kemenangan Biden atas Gedung Putih.

Kekalahan Trump datang sebagai kelegaan yang sangat besar bagi mayoritas yang tidak memilih Trump pada Pilpres AS 2016 silam, bagi rakyat Amerika yang dirugikan oleh kebijakannya dari pemisahan keluarga yang dipaksakan hingga tanggapan COVID-19 yang gagal, dan bagi banyak orang yang khawatir Trump menyimpan kecenderungan otokratis yang berbahaya. Bagi orang Amerika yang memilih Biden, ini terasa seperti akhir dari babak kelam dalam sejarah bangsa dan berpotensi menjadi awal dari momen kesempatan emas.

Namun, agar peluang itu terpenuhi, Biden dan Harris harus bekerja cepat. Masa depan yang pastinya belum dapat diketahui hingga hasil pemilihan Senat dirilis.

AGENDA BIDEN-HARRIS

Suatu hal yang dipertaruhkan di sini adalah agenda yang menyaingi program para presiden Partai Demokrat sebelumnya. Vox mencatat, rencana Biden untuk menanggapi krisis COVID-19 disebut “Bangun Kembali Lebih Baik” (Build Back Better). Rencana itu tidak persis sama dengan “New Deal” atau “Great Society.” Tetapi menangkap apa yang ingin dilakukan Biden: membangun kembali dari reruntuhan yang ditinggalkan oleh kegagalan pemerintahan Trump untuk menahan wabah virus dan kesediaan untuk membiarkannya menyebar menjadi 9 juta kasus, lebih dari 230 ribu kematian, serta yang tak kalah penting pengangguran tertinggi sejak Depresi Hebat (14,7 persen pada April dan 7,9 persen pada September) dan melonjaknya kemiskinan. Sementara itu, ketika pandemi berkecamuk, pemerintahan Trump menanggapi protes atas kesetaraan rasial dengan cara yang paling buruk dan paling memecah belah yang bisa dibayangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: