Kisah Pilu Penjajahan Amerika Terhadap Afghanistan

Kisah Pilu Penjajahan Amerika Terhadap Afghanistan

“Mereka menggunakan negara kami sebagai tempat bermain senjata mereka. Kami tidak berharga,” keluh Mustafa, mengisahkan desanya yang dikuasai Taliban beberapa minggu setelah ledakan “Mother of All Bombs”.

Orang Afghanistan dengan lebih banyak uang meninggalkan rumah mereka dan melarikan diri ke Eropa atau negara lain. Mustafa tidak punya prospek seperti itu. Mustafa mengecam masalah kesehatan yang melanda penduduk setempat setelah pengeboman. Lebih dari dua tahun kemudian, para anggota parlemen Afghanistan menuntut penyelidikan tentang dampak kesehatan bom besar-besaran terhadap penduduk setempat.

Saat Emran dari Foreign Policy bertemu Mustafa dan penduduk lokal lainnya, Provinsi Nangarhar adalah daerah yang paling banyak dibom di Afghanistan. Tetapi bukan satu-satunya.

Di provinsi utara Baghlan, perang berlanjut hingga hari ini, meskipun ada kesepakatan pada Februari 2020 antara Taliban dan pasukan AS untuk memulai pembicaraan damai dengan tujuan untuk mengakhiri permusuhan. Pada malam 26 Agustus, serangan udara oleh militer Afghanistan menargetkan sekolah agama di provinsi tersebut. Enam warga sipil tewas. Termasuk beberapa pelajar remaja. “Bom Amerika masih membunuh kami,” kata seorang warga setempat saat mengirimi foto dari apa yang tampaknya merupakan sisa-sisa senjata buatan AS.

Orang Afghanistan hingga kini masih saling membunuh. Dayed Shah Mehrzad, petugas medis dari Baghlan, menggambarkan tragedi internal perang selama beberapa dekade.

“Warga Afghanistan, terkadang bahkan kerabat, saling membunuh. Saya merawat kedua belah pihak. Tapi terkadang mereka ingin melanjutkan pertempuran mereka di tempat perawatan saya,” kenang Mehrzad.

Shah memperkenalkan Emran dari Foreign Policy kepada Lemar, pejuang Taliban berusia awal 20-an tahun. Seperti semua pemuda lain yang ditemui, dia termasuk dalam generasi yang tidak tahu apa-apa selain perang. Ketika invasi AS terjadi, dia masih kecil. Beberapa pejuangnya bahkan belum lahir. Dia tidak tertarik dengan pembicaraan damai. Apalagi dengan pemerintah di Kabul.

“Mereka lebih buruk dari orang kafir. Mereka telah membunuh banyak dari kami,” semburnya. Belakangan, Lemar bertengkar dengan saudara laki-lakinya sendiri yang bekerja untuk pemerintah daerah di Baghlan. Akankah Lemar membunuh saudaranya? Tidak ada yang tahu pasti.

KEKALAHAN AS

Sembilan belas tahun setelah dimulainya perang yang diluncurkan untuk membasmi al-Qaeda dan Taliban serta membentuk kembali Afghanistan, AS tampaknya telah kalah. Para pemimpin Taliban, yang pernah diburu oleh drone atau ditahan di penjara Teluk Guantánamo, sekarang bersorak penuh kemenangan dalam negosiasi tatap muka mereka dengan para pejabat senior AS. Sementara itu, elite politik di Kabul tidak khawatir tentang kehilangan negara. Tetapi tentang kehilangan posisi dan hak istimewa mereka dan segunung uang tunai yang membuat banyak dari mereka menjadi sangat kaya.

Perang melawan terorisme di Afghanistan menjanjikan rekonstruksi, hak-hak perempuan, dinamisme ekonomi, keadilan atas serangan 11 September 2001, dan demokrasi. Semuanya gagal. Mayoritas warga Afghanistan tetap miskin dan kehilangan haknya. Sementara elite kleptokratis berjuang demi menyelamatkan hak istimewa mereka sendiri.

Setelah dua dekade ingkar janji, kesalahan politik parah, kegagalan yang tak terhitung jumlahnya, serta perang dan kehancuran terus-menerus, masa depan Afghanistan masih belum pasti. Setelah dua dekade, banyak kunjungan dan wawancara yang tak terhitung jumlahnya dengan orang Afghanistan di dalam dan luar negeri, Feroz dari Foreign Policy masih seperti saat berusia sembilan tahun dan diburu pertanyaan oleh gurunya. Dia masih belum memiliki jawabannya dan bertanya-tanya bagaimana masa depan Afghanistan kelak. (mmt/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: