Kisah Pilu Penjajahan Amerika Terhadap Afghanistan
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Baru-baru ini, Emran Feroz dari Foreign Policy melakukan pembicaraan yang menarik dengan teman Afghanistan di Austria. Yang meninggalkan negara Timur Tengah itu. Bersama keluarganya hampir dua dekade lalu. Sebagian besar teman masa kecilnya, tampaknya telah bergabung dengan Taliban untuk berperang di tempat di mana mereka dilahirkan. Teman Feroz itu tidak berasal dari Kabul atau kota lain mana pun. Tempat jatuhnya Taliban 19 tahun lalu dirayakan ketika invasi Amerika Serikat (AS) dimulai. Teman itu lahir di Maidan Wardak, provinsi 40 menit di selatan ibu kota yang sebagian besar dikuasai oleh militan bahkan sampai kini.
Perang yang dimulai untuk menggulingkan Taliban berakhir dengan kebangkitannya kembali hampir dua dekade kemudian. Taliban kini bersiap menetapkan semacam perjanjian pembagian kekuasaan dengan Pemerintah Afghanistan di Kabul. Setelah perang puluhan tahun, patah hati, ingkar janji, serta kehidupan yang hancur, begitu sedikit yang berubah di Afghanistan. Mengapa?
Semuanya dimulai pada 12 September 2001. Sehari setelah World Trade Center dihancurkan. Guru sekolah dasar Feroz dari Foreign Policy di Austria bertanya tentang teroris yang menyerang New York City. “Tahukah Anda mengapa mereka melakukan itu?” tanya sang guru.
Feroz yang saat itu berusia sembilan tahun tidak punya jawaban. Ia menjadi sasaran olok-olok. Mereka mengejek Feroz sebagai keponakan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden. Teman-temannya di sekolah bersorak atas perang yang akan datang.
“Mereka akan mengebom orang-orangmu,” kata mereka kepada Feroz. Ketika orang tuanya dari Foreign Policy menonton berita tentang negara yang mereka tinggalkan bertahun-tahun lalu, Feroz turut menyaksikan sambil duduk di ruang tamu.
Meski banyak warga perkotaan Afghanistan, terutama di Kabul, merayakan jatuhnya rezim Taliban, mencukur jenggot, dan melepas burqa mereka seperti pemandangan yang akrab di Barat, dengan cepat menjadi jelas tidak semua yang ada di lapangan hitam dan putih.
Feroz ingat seorang lelaki tua Afghanistan mulai menangis di depan kamera, mengatakan tentara Amerika menangkap dan menyiksanya tanpa alasan. Penduduk setempat lain menggambarkan bagaimana rumah mereka dibom dan bagaimana mereka kehilangan putra atau putri mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Feroz duduk di depan orang-orang seperti itu mendengarkan cerita mereka. Namun, bedanya, sekarang Feroz mencoba menjelaskan situasi di lapangan kepada seluruh dunia. Mengapa semua perang itu gagal? Mengapa Afghanistan masih menghadapi begitu banyak perang dan pembantaian? Bagaimana kekacauan ini bisa diselesaikan?
SERANGAN MENGERIKAN
Perang dimulai dengan kegagalan. Sama halnya dengan saat berakhir. Pada 7 Oktober 2001, serangan drone bersenjata pertama menghantam kota selatan Kandahar untuk mencari Pemimpin Tertinggi Taliban Mullah Mohammed Omar. Saat itu, tidak ada satu pun foto yang tepat atas target tersebut. Namun, para pejabat militer dan intelijen AS yakin drone Predator mereka telah menemukan mullah bermata satu yang terkadang digambarkan sebagai tangan kanan bin Laden.
Faktanya, serangan itu tidak berhasil menemukan sang Mullah. Rudal Hellfire menghantam beberapa orang Afghanistan. Tetapi Mullah Omar tidak termasuk di antara mereka. Dan tidak ada yang bertanya siapa yang terbunuh. Itu adalah pola serangan tanpa pandang bulu yang akan terjadi berulang kali selama bertahun-tahun perang. Pesawat nirawak Amerika, yang dibanggakan sebagai “senjata presisi” untuk melumpuhkan Taliban dan kepemimpinan al-Qaeda justru memburu dan menghantui penduduk desa Afghanistan yang tidak bersalah.
“Mereka membunuh kami. Seluruh dunia tahu itu,” keluh Pasta Khan, pengembara dari provinsi tenggara Khost. Khan menggambarkan apa yang terjadi pada ayah, saudara laki-lakinya, dan 12 suku lainnya pada Juni 2015 saat mereka mempersiapkan pemakaman. “Mobil mereka terkena roket. Semuanya terbunuh,” katanya terus-menerus.
Tak lama setelah itu, militer AS mengklaim telah membunuh belasan teroris dalam serangan pesawat nirawak di Khost. Tidak seorang pun dari sesama pengembara Khan termasuk di antara barisan Taliban. Dia masih trauma, masih takut pada “malaikat maut”, sebagaimana beberapa orang Afghanistan menyebut drone itu.
Para pengembara yang ditemui Feroz dari Foreign Policy dulu memiliki sikap anti-Taliban. Setelah pembantaian tersebut, meski mereka tidak bergabung dengan militan, mereka secara terbuka menunjukkan simpati yang lebih banyak kepada Taliban. Komandan Taliban di Pakistan dan Afghanistan telah berulang kali mengonfirmasi serangan pesawat nirawak dan korban sipil adalah metode perekrutan terbaik mereka.
“Mereka ingin ikut jihad. Mereka ingin membalaskan dendam kerabat mereka. Sering kali mereka tidak punya pilihan lain,” tutur komandan Taliban dari Provinsi Nangarhar. Salah satu pejuangnya masih anak-anak. Dia bergabung dengan grup tersebut setelah drone Amerika membunuh ayahnya.
Perang di Nangarhar dan daerah pedesaan lainnya di Afghanistan berbeda dengan perang di Kabul. Ada banyak teror dan pertumpahan darah di Kabul dari serangan bunuh diri brutal, pertama oleh Taliban, kemudian oleh cabang lokal ISIS. Namun, warga perkotaan Afghanistan setidaknya melihat beberapa kemajuan ekonomi. Sementara daerah pedesaan memiliki sedikit pilihan dan lebih sedikit peluang.
Di Kabul, para elite tinggal di zona hijau terlindung. Bagi mereka, pedesaan Afghanistan mungkin merupakan negara yang berbeda. Provinsi seperti Nangarhar menderita serangan pesawat nirawak, serangan malam oleh milisi, dan pengeboman karpet seperti pada 2017 ketika AS menjatuhkan senjata non-nuklir terbesarnya ke benteng yang dicurigai milik ISIS di Distrik Achin di Provinsi Nangarhar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: