Lemahnya Perlindungan ABK Indonesia

Lemahnya Perlindungan ABK Indonesia

OLEH: KANA KURNIA*

Pada tingkat global, Indonesia menduduki peringkat ketiga produksi perikanan tangkap. Yaitu sebesar 6,71 juta ton pada tahun 2018. Peringkat pertama ditempati oleh Tiongkok. Dengan produksi 12,68 juta ton. Peringkat kedua diduduki oleh Peru. Dengan produksi 7,15 juta ton di tahun yang sama. Adapun berdasarkan data dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri, terdapat lebih dari 200.000 Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia bekerja di kapal ikan asing selama tahun 2013-2015. Penempatan tertinggi di Taiwan 217.655 orang dan Korea Selatan 31.792 orang. 

Kesulitan mencari pekerjaan dan rendahnya upah di Indonesia mendorong ABK Indonesia bekerja di kapal ikan asing. Hasil tangkapan dan pendapatan sebagai nelayan di Indonesia yang tidak menentu menjadi alasan pendorong mereka bekerja di luar negeri. Karena pendapatannya dianggap lebih pasti. Misalnya, pada tahun 2019 rata-rata nilai upah sebagai buruh di Indonesia hanya Rp 2,5 juta. Sementara upah pokok yang ditawarkan di kapal ikan Taiwan adalah sekitar Rp 11,9 juta.

Adapun permasalahan yang timbul kemudian adalah perlindungan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Pengawasan negara pada saat bekerja di atas kapal sulit dilakukan. Karena lokasinya berada di tengah laut. Sehingga tidak mudah diawasi oleh aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum. Kapal ikan jarak jauh dapat bertahan di laut selama beberapa tahun. Sekaligus dengan melakukan alih muat BBM, perbekalan, ABK dan ikan di tengah laut. Kondisi tersebut yang dapat memicu terjadinya praktik pelanggaran ketenagakerjaan, kerja paksa, penyelundupan manusia, dan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking).

Berdasarkan data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) selama 2018-2020, terdapat 411 pengaduan dari ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Pengaduan tertinggi gaji yang tidak dibayarkan (44 persen atau 183 kasus). BP2MI juga mencatat, sebagian pengadu merupakan ABK yang berasal dari jalur non-prosedural. Sehingga lebih rentan terhadap pelanggaran perjanjian kerja dan eksploitasi. Selain permasalahan gaji, permasalahan lainnya adalah terkait jam kerja, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi, penyiksaan secara fisik dan psikologi, dan eksploitasi berlebihan.

International Organization for Migration (IOM) mencatat, 71 persen atau 202 dari 283 ABK Indonesia diharuskan membayar biaya perekrutan kepada agen perekrutan dan penempatan. Sementara 176 dari 202 orang yang membayar biaya perekrutan tersebut wajib menandatangani kontrak hutang sebelum keberangkatan. Pelaku tindak pidana perdagangan orang juga melakukan berbagai upaya untuk mencegah korban. Agar tidak meninggalkan tempat eksploitasi. Caranya dengan menahan sebagian atau seluruh gaji, dan menahan buku pelaut milik ABK.

Apa akar permasalahan sehingga pelindungan ABK Indonesia di kapal ikan asing tidak optimal? Pertama, peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan mengenai penempatan dan pelindungan ABK Indonesia di kapal ikan asing sebenarnya sudah diamanatkan sejak tahun 2004. Namun, sampai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPMI) diundangkan, peraturan tersebut tidak pernah diterbitkan.

Kedua, adanya tumpang tindih kewenangan dalam menerbitkan izin keagenan perusahaan perekrutan dan penempatan awak kapal ikan (manning agency). Saat ini, ada tiga jenis izin penempatan ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pertama, manning agency yang memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan. Kedua, manning agency yang memiliki Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI) dari BP2MI. Ketiga, manning agency yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Kementerian Perdagangan atau Dinas Perdagangan pada pemerintah daerah.

Permasalahan selanjutnya, tidak adanya single-database yang berisi informasi mengenai data manning agency di dalam dan luar negeri, jumlah ABK Indonesia di kapal ikan asing, dan pemilik kapal ikan asing. Hal ini mengakibatkan tidak diketahui secara pasti jumlah ABK Indonesia di luar negeri. Sehingga menyulitkan pelindungan terhadap mereka. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, jumlah ABK Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 200.000 orang pada tahun 2013-2015. Sementara BP2MI hanya mencatat 30.864 orang bekerja sebagai ABK di luar negeri selama 2011-2019.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada tiga akar permasalahan lemahnya pelindungan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Pertama, ketiadaan perangkat hukum pelindungan ABK sejak dari proses perekrutan serta lemahnya pengawasan terhadap manning agency. Kedua, tumpang tindih kewenangan penerbitan izin usaha manning agency yang mengakibatkan penerbitan izin perekrutan dan penempatan ABK tidak dilakukan melalui satu pintu. Ketiga, ketiadaan database terpadu tentang ABK Indonesia di kapal ikan asing yang mengakibatkan sulitnya melakukan pelindungan.

Selanjutnya, penulis memberikan rekomendasi bahwa pemerintah harus sepakat bersama-sama bahwa tidak ada ego sektoral di masing-masing kementerian/lembaga. Izin keagenan (manning agency) yang dapat melakukan perekrutan dan penempatan ABK Indonesia di kapal ikan asing adalah Kementerian Ketenagakerjaan. Kemudian, harus ada Integrated Database Pekerja Migran Indonesia. Khususnya ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Database tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan koordinasi dalam pengawasan sampai dengan pemulangan. Selanjutnya, KBRI, KJRI, dan Konsulat harus pro-aktif dan rutin melakukan inspeksi/monitoring terhadap kondisi kerja dan pemenuhan hak-hak ABK Indonesia di kapal ikan asing. Terakhir, meningkatkan kerja sama internasional. Baik secara bilateral maupun multilateral. Dalam penanganan kasus Tindak Pidana Orang (TPPO). (*Dosen Universitas Mulia Balikpapan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: