Petani Jahe di Kubar Menjerit, Panen Melimpah Tapi Tidak Ada Pembeli

Petani Jahe di Kubar Menjerit, Panen Melimpah Tapi Tidak Ada Pembeli

Sendawar, nomorsatukaltim.com – Petani jahe di Kampung Temula, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), tengah gembira dan merana sekaligus. Mereka kini sedang menikmati masa panen raya jahe. Berton-ton jahe dihasilkan dari kebun milik sendiri.

Tapi beribu kilogram jahe tersebut berpotensi membusuk. Karena tidak ada yang membeli. “Kalau hanya 4 sampai 5 karung bisa pasar lokal saja. Lebih dari satu ton sulit memasarkannya,” ungkap salah satu petani jahe, Gempetius (40) warga RT 05 Kampung Temula kepada Disway Kaltim, Rabu (16/9).

Gempitius merupakan salah satu petani jahe putih (Jahe gajah) di Kecamatan Nyuatan. Sejak 2016 silam ia menanam jahe dengan jumlah yang besar. Sembari berkebun karet juga. Pasang surut harga jahe sudah kerap ia alami. Tapi yang kali ini, adalah yang tersulit. Ia sampai bilang kalau terdesak.  “Sebelum pandemi memang banyak permintan dari luar daerah. Bahkan harganya sampai Rp 20 ribu per kilogram,” terangnya.

Di awal pandemi. Ketika jahe jadi primadona karena dianggap dapat menangkal virus corona. Penjualan hasil kebunnya lancar. Sempat merasakan juga harga yang melejit kala itu. Namun seiring ketidakpastian obat untuk wabah asal Tiongkok ini. Harga jahe kembali drop. Malah sampai tidak laku.

Pasar Kubar hanya mampu menampung hingga 10 karung (50 kg) saja per hari. Jika ada pesanan dari luar, maka bisa mencapai 2 ton. Awalnya jahe putih berharga Rp 40 ribu per kg. Sekarang hanya Rp 20 ribu. Sedangkan  jahe merah awalnya Rp 30 ribu per kg, sekarang drastis naik  mencapai Rp 100 ribu per kg.

“Yang diharapkan agar pemerintah membantu mencarikan tempat pemasaran jahe bagi petani di Kubar. Meski produksi melimpah kalau tidak ada pembeli, maka petani rugi,” beber Gempitius.

Perihal harga, Gempitius tak terlalu ambil pusing. Karena di atas tanah 1 hektarenya ia bisa memanen hingga 58 kg netto setiap 8 bulan. Maka dengan harga Rp 20 ribu per kilogram saja. Uang yang ia dapat sudah lebih dari cukup. “Meski harga murah, tapi hasilnya lebih hebat dari menores karet yang harganya hanya Rp 4 ribu per kg,” tuturnya.

Petani yang juga pengepul jahe sejak 2017, Dafit Jubardi (26) warga RT 04 Kampung Temula mengakui hal yang sama. Permintaan jahe dari luar daerah memang lagi seret.

“Saya pernah mengirim puluhan ton jahe untuk salah satu perusahaan jamu terbesar di Surabaya, untuk sampel. Itu pada saat awal COVID-19 merambah Indonesia,” beber Dafit.

Seiring waktu, permintaan berangsur hilang. Saat ini, kesulitan utama adalah  memasarkan jahe, karena di Kubar belum ada pembeli besar. “Harapan agar pemerintah dapat membantu pemasaran jahe yang melimpah di Kubar,” tandas Dafit.

Memang kenyataannya, di Kubar petani jahe masih mandiri. Belum ada kelompok tani jahe. Dinas Pertanian Kubar kini berupaya membantu petani. Melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). “Dinas Pertanian melalui PPL berupaya memberikan penyuluhan. Juga membantu obat-obatan hama,” jelas Kepala Seksi Ketenagaan Penyuluhan Dinas Pertanian Kubar, Albina.

Petani jahe di Kampung Temula disarankan membuat kelompok tani. Karena bantuan Dinas Pertanian tidak bisa disalurkan perorangan. “Per kelompok bisa 10 orang. Sehingga bantuan bisa disalurkan. Memang saat ini pasaran jahe sangat bagus, lebih tinggi daripada harga getah karet,” pungkasnya. (imy/ava/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: