Empati Sosial untuk Pasien COVID-19

Empati Sosial untuk Pasien COVID-19

Diah Rahayu. (Ist)

OLEH: DIAH RAHAYU*

Pandemi COVID-19 menginfeksi sebagian warga negara di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Kebijakan baru pun disosialisasikan untuk memulai pembiasaan baru. Meskipun telah dilakukan sosialisasi secara terus menerus, tetapi belum berhasil menekan jumlah pasien penderita COVID-19. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian. Entah sampai kapan keadaan akan kembali menjadi normal. Dampak psiko-sosial mulai terlihat di masyarakat: rasa takut, cemas dan frustrasi yang mengarah pada sejumlah konsekuensi seperti melemahnya hubungan sosial yang berdampak pada munculnya stigma di masyarakat.

Permasalahan ini kemudian mendorong mahasiswa KKN 46 Kecamatan Sungai Kunjang yang terdiri dari tujuh kelurahan: Teluk Lerong, Lok Bahu, Karang Asam Ilir, Karang asam Ulu, Loa Buah, Loa Bakung dan Karang Anyar, melaksanakan program kerja kelompok berupa webinar. Mengangkat tema melawan stigma pasien COVID-19 dengan pembicara pengamat psikologi sosial Akhmad Fauzie, psikolog dari Universitas Hang Tuah Surabaya dan dimoderatori oleh dosen Psikologi Unmul, Rini Fitriani Permatasari. Dalam webinar ini, para pembicara memaparkan empat stressor yang terjadi pada masyarakat di masa pademi ini. Hal tersebut meliputi rasa takut terinfeksi, kekurangan kebutuhan dasar, penyesuaian perilaku, dan pembatasan sosial. Kondisi ini disinyalir berpotensi memunculkan prasangka di lingkungan masyarakat, yang mengarah pada munculnya kelompok terstigma (stigmazed group) dan stigma individu (stigmazed individual).

Pasien COVID-19 maupun tenaga kesehatan adalah individu yang rentan terhadap stigma sebagaimana dimaksud di atas. Hal ini karena adanya tekanan sosial di masyarakat. Tekanan sosial ini mengarah pada ancaman terjadinya infeksi yang memunculkan kebingungan, ketakutan penularan dan berkembangnya pengetahuan tentang siapa yang berpotensi besar dapat menularkan COVID-19. Informasi yang salah akan memperburuk kondisi ini. Sehingga edukasi terkait COVID-19 perlu dilakukan secara terus menerus. Dengan memberikan informasi yang lurus dan benar.

Dampak stigma ini cukup dahsyat. Karena bisa memunculkan ketakutan yang berlebihan di masyarakat. Juga kecenderungan yang tidak rasional. Sehingga acap kali membuat masyarakat menutup diri dari informasi yang benar. Hal ini kemudian sering memunculkan penolakan pada pasien COVID-19, jenazah pasien COVID-19, bahkan tenaga kesehatan yang berada pada garda terdepan penanganan virus ini.

Rasa tepo sliro dan kemanusiaan terkikis karena berkembangnya stigma tersebut. Kondisi ini kemudian memunculkan ketakutan individu untuk memeriksakan diri meskipun dia paham memiliki gejala yang mirip dengan gejala COVID-19, yang semakin memperluas penyebaran virus ini. Tidak dimungkiri bahwa saat ini banyak ditemukan kasus tenaga kesehatan yang tertular karena pasien yang menyembunyikan informasi terkait kondisinya. Hal ini juga diperparah dengan keluarga maupun kolega yang dekat dengan pasien yang turut serta menutupi informasi terkait.

Lalu upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk melawan stigma ini? Di dalam paparannya Akhmad Fauzie menjelaskan, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya mengonstruksi pengetahuan baru yang benar terkait COVID-19 dengan menyebut individu yang terjangkit virus corona sebagai pasien. Bukan korban atau penderita; menghindari pelabelan individu dari kelompok etnis atau daerah tertentu sebagai penyebab atau penyebar COVID-19; memberi dukungan sosial (social support) bagi mereka yang terdampak. Baik pasien, keluarga pasien maupun masyarakat sekitar; tidak menyebarkan informasi yang salah atau berita bohong terkait COVID-19, serta mengembangkan empati sosial di lingkungan masyarakat.

Mengapa empati sosial penting? Karena saat stigma terjadi justru rasa empati ini yang kerap hilang di masyarakat. Padahal dukungan sosial akan hadir jika empati sosial ini muncul di lingkungan masyarakat. Elisabeth Segal, penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others, mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka.

Akhmad Fauzie dalam menuturkan, menurut Daniel Goleman dan Paul Ekman, secara umum, empati terbagi dalam tiga jenis: (1) empati kognitif: kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan apa yang mereka pikirkan. Empati kognitif memungkinkan kita menjadi komunikator yang baik dengan menyampaikan informasi melalui cara yang tepat untuk menjangkau orang tersebut. 2) empati emosional juga dikenal sebagai empati afektif atau empati yang erat hubungannya dengan perasaan dan emosi orang lain. 3) empati welas asih merupakan level empati tertinggi setelah kognitif dan emosional. Karena empati ini melampaui sekadar memahami orang lain atau berbagi perasaan dengan mereka. Melainkan sudah menggerakkan kita untuk mengambil tindakan untuk membantu semampu yang kita bisa.

Manfaat empati yang paling utama adalah membangun relasi sosial dengan orang lain. Orang lain akan merasa dimengerti dan dengan sendirinya akan menjadi lebih nyaman. Upaya ini harus digerakkan oleh individu yang memiliki otoritas di lingkup msyarakat agar dapat berjalan efektif. Upaya-upaya untuk melawan stigma dengan empati sosial dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku tolong-menolong. Melatih diri memiliki sikap empati berarti meningkatkan perilaku tolong-menolong di kehidupan sehari-hari. Ketika kita mampu berempati terhadap orang lain, maka keinginan kita untuk membantu orang lain akan lebih tinggi. Selain itu, membentuk moral yang baik juga sama pentingnya. Memiliki empati berarti mempunyai rasa kasih terhadap orang lain. Empati membantu kita untuk mengidentifikasi sikap atau perilaku yang baik untuk dilakukan. Selalu dengan moral yang dianut. Kemudian membantu mengatur ego diri. Memiliki kemampuan berempati berarti mampu berpikir di luar kepentingan diri sendiri. Dengan begitu, kita akan belajar untuk melihat kepentingan orang lain di samping kepentingan diri sendiri.

Akhir kata, mari kita melakukan refleksi diri. Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir dan sadarkah kita bahwa siapa pun dapat terjangkit oleh virus ini. Jika pasien COVID-19 itu adalah kita atau keluarga kita, apa yang paling kita harapkan dari masyarakat sekitar? Pastinya kita tidak mau dikucilkan, dijauhi bahkan ditolak. Jadi marilah kita tumbuhkan empati sosial untuk melawan stigma pada pasien COVID-19. (*DPL KKN KLB Unmul Kecamatan Sungai Kunjang dan Dosen Prodi Psikologi FISIP-Unmul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: