Merdeka Anggaran
Oleh: Baharunsyah*
MERDEKA itu banyak definisinya. Banyak harapannya. Tapi banyak juga sakit hatinya. Kalau ditelisik lebih jauh. Setiap orang bebas mendefinisikan arti kemerdekaannya sendiri. Merdeka atau terbebas dari sakit hati terhadap mantan kekasih itu juga merdeka. Kemudian melampiaskan kekesalan dengan menghibur diri yang nota bene butuh duit lebih. Uang habis, tidak jadi merdeka rasanya. Yang ada malah menyesal.
Bicara soal merdeka saya mau sedikit cerita berdasar hasil berkisah dengan salah satu kawan aktivis. Biasa. Namanya aktivis nalar kritisnya tidak pernah habis. Selalu ada bahan untuk disajikan. Singkat cerita, ia bilang, kita belum sepenuhnya merdeka. Bukan merdeka dari rasa kemiskinan dan kebodohan. Yang selalu jadi jargon setiap calon apapun itu. Yang hendak maju perhelatan politik lima tahunan. Tapi lebih spesifik. Kita belum merdeka menentukan nasib kita sendiri. Melaui uang.
Uang? Iya. Uang APBD contohnya. Kenapa harus nyambung ke situ pikir saya. Ditarik ulur ternyata ada kaitannya. Hampir semua kebutuhan rakyat, kebutuhan kita, ada disitu. Nasib kita ditentukan melalui rangkaian angka-angka tersebut. Dimana angka-angka itu dibahas oleh perwakilan kita. Di eksekutif oleh pemerintahan. Di legislatif oleh DPRD. Oke, ribet. Orang awam tidak akan mengerti. Tidak mau tahu.
Apa kaitannya dengan APBD? Toh yang rakyat biasa pikir adalah besok harus makan apa. Tidak salah jika banyak orang awam memilih apatis dengan ini. Tapi sadar atau tidak, nasab hidupnya, uang susu anaknya, jalan yang hari-hari ia lalui diatur terikat dalam rangkaian angka-angka ini. Angka-angka yang tersadur dengan rapi. Dalam buku berjudul APBD.
Kenapa ini begitu penting. Ini katanya. Kita, pasti punya kebutuhan dasar. Pengusaha kecil pasti butuh bantuan usaha dari pemerintah. Yang mengeluh jalannya rusak pasti minta segera diperbaiki. Kebutuhan yang banyak itu lalu disampaikan ke kelurahan atau desa. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) kecamatan. Lalu usulan itu dijadikan satu, diimpun, dikumpul dan diserahkan lagi ke kabupatan/kota. Jadilah namanya musrenbang kota. Sayangnya disini titik masalahnya. Musrenbang yang terjadi justru tidak menyentuh substansi. Malah musrenbang lebih mirip seminar pembangunan. Dimana akademisi seakan-akan mengkritisi usulan. Padahal, itu tetap tidak akan berubah juga. Cuma formalitas kata teman saya itu. Agar dianggap mengikuti prosedur saja.
Belum selesai ini. Usulan musrenbang itu ditampung lagi oleh pemerintah. Dipilah, mana yang prioritas. Lalu dibuatlah kisaran anggarannya. Nah, program-program itu kemudian diserahkan ke instansi-instansi teknis. Misalkan usulan pembuatan parit akan diserahkan ke dinas PU. Usulan mengembangkan usaha kecil diserahkan ke dinas perdagangan. Begitu seterusnya. Mereka yang terlibat dalam hal ini dikoordinasi lagi oleh tim bernama Tim Anggaran Pendapatan Daerah (TAPD). Gimana? Ribet kan. Ini belum seberapa ribet. Setelah itu TAPD akan membahas lagi bersama DPRD. Lalu usulan-usulan itu masuk dalam Rancangan Kebijakan Anggaran serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Atau KUA-PPAS. Lagi-lagi disini titik poinnya. Yang harusnya mengetes nalar kritis kita.
Apakah semua usulan dari musrenbang itu sudah terakomodasi di sini. Apakah usulan kita, para masyarakat diluar pemerintahan ini, masuk dalam KUA PPAS tersebut. Itu yang harus diawasi. Bagaimana kita bisa menjamin semua kebutuhan-kebutuhan kita masuk dalam KUA PPAS, sementara ita tidak pernah dilibatkan untuk membahas? KUA PPAS ini adalah finishing. Disahkan, sudah, tidak bisa berubah. Jalan di gang rusak dan belum diperbaiki? Cek dulu, apakah usulan itu masuk KUA PPAS atau tidak. Belum dapat bantuan modal dari pemerintah, atau belum dapat bantan sosial padahal seharusnya menerima? Cek di KUA PPAS. Masih ada atau tidak. Kalau tidak ada ya sabar. Tunggu tahun depan.
Dari sinilah makna kemerdekaan itu. Versi sahabat aktivis saya tadi. Pemerintah kita tidak transparan soal anggaran. Tidak ada pula niatan untuk melibatkan masyarakat dalam pembahasan. Baik menyusun atau mengelolanya. Padahal publik juga punya hak. Kalau memang pemerintahan kita ini berbasis civil society. Katanya. Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Alih-alih ada kebijakan yang mengikuti kebutuhan masyarakat, yang ada hanya versi pemerintah saja. Bahasa ilmiahnya upper down. Kebijakan dari atas. Bukan dari bawah. Atau bottom up. Akuntabilitas sosialnya tidak ada. Belum terbuka banget. Untuk tahu anggaran saja harus meminta dulu. Mengemis. Pakai surat resmi. Dan menunggu lagi. Panjang pokoknya. “Belum ada data anggaran yang serta merta diberikan oleh pemerintah, jadi kita masih anggap belum transparan,” begitu pesan whattsapp sahabat saya itu. Contohnya dana penanganan COVID-19. Sampai saat ini belum semua sadar untuk membeberkan penggunaan anggarannya. Hanya disampaikan besarannya saja. Sebenarnya saya ingin melanjutkan diskusi dengannya. Menunggu lagi apa yang akan ia tulis di pesan whatssapp. Sayang itu tadi adalah pesan whatssapp terakhirnya. Tidak ada sambungannya. Menggantung memang kawan saya ini. Sama seperti makna merdeka itu sendiri.
*Redaktur Disway Kaltim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: