Pupus karena Karamumus

Pupus karena Karamumus

Bangsa Indonesia baru merayakan 75 tahun kemerdekaan, ketika Kota Samarinda sudah berusia 3,5 abad. Namun persoalan yang dialami Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur ini, belum juga tuntas. Yang paling utama mengantarkan masyarakat merdeka dari banjir. 

-----------------

Oleh: Khajjar Rohmah, Arditya Abdul Azis

MENURUT penulis buku sejarah, Muhammad Sarip,  wilayah permukiman Samarinda bermula dari eksistensi lima kampung di sebelah utara Sungai Mahakam. Yaitu Pulau Atas, Sambutan, Karang Mumus, Karang Asam, dan Loa Bakung.

Serta satu kampung di selatan Mahakam, yakni Mangkupalas. Keenam kampung tersebut merupakan komunitas kuno Samarinda yang eksis sekitar 7 abad yang lalu. Sebelum berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara di Kutai Lama (selatan Samarinda) tahun 1300 Masehi.

Kampung Karang Mumus, dulunya bernama Karamumus. Toponimi Karamumus berasal dari bahasa Banjar atau Melayu. Dari dua kata, karam dan lumus. Karam artinya tenggelam. Lumus artinya habis atau lenyap. "Boleh jadi asal usulnya dari peristiwa perahu, jukung atau kapal yang tenggelam di sungai ini. Bisa juga dari peristiwa korban jiwa tenggelam dan hilangnya jenazah tanpa ditemukan," kata Sarip, belum lama ini.

Sungai Karang Mumus, selain Sungai Mahakam, merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Samarinda. Selain sebagai prasarana mandi, cuci, kakus (MCK), airnya juga dikonsumsi. SKM juga berfungsi sebagai jalur transportasi antarkampung di Samarinda karena anak Mahakam ini mempunyai banyak cabang.

Karang Mumus termasuk pilihan lokasi permukiman karena kawasan yang dekat dengan sungai. Hal ini sebagaimana karakteristik masyarakat Kalimantan yang berperadaban sungai.

Adapun SKM masa kini telah tereduksi fungsinya. Airnya tidak bisa lagi dikonsumsi karena pencemaran. Beberapa cabangnya sudah lenyap karena berubah wujud menjadi drainase yang ditutup beton. Lalu, kesemrawutan permukiman dengan rumah atau bangunan yang didirikan jauh di badan sungai turut berdampak buruk bagi kualitas SKM dan tata kota.

Kondisi Samarinda saat ini yang sering terjadi banjir, kata Sarip, memang sudah terjadi sejak lama. Dulu, ada istilah 'calap' di Samarinda. Maksudnya, jika air Mahakam sedang pasang, maka daratan kota akan terendam air. Hal ini karena daratan Samarinda sama rendahnya dengan permukaan Mahakam.

Hanya saja, fenomena ini pada zaman dulu tidak disebut sebagai banjir. Rumah-rumah warga berkonstruksi sebagai rumah panggung yang berbahan kayu. "Jadi, calapnya kota dapat diantisipasi sehingga tidak sampai menenggelamkan rumah," ungkapnya. 

Artinya, potensi kerugian materi atau kerusakan properti dapat dieliminasi. Curah hujan tinggi juga tidak mengakibatkan banjir karena masih banyak rawa-rawa yang tidak ditimbun atau didirikan bangunan di atasnya.

Namun, seiring perkembangan zaman dalam tiga dekade terakhir yang makin maraknya pembangunan rumah dan gedung dengan konstruksi beton. Rawa-rawa juga berganti bangunan beton, perbukitan diruntuhkan, masyarakat pun tertimpa kerugian.

Banjir seolah sudah melekat sebagai rutinitas wajib di Samarinda setiap tahun. Sejak bencana banjir besar 1998, persoalan banjir menjadi materi langganan dalam kampanye politik pilkada. Dan selama itu pula, masyarakat bisa melihat hasilnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: