Menyelamatkan Indonesia dari Resesi

OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI*
Dampak dari pandemi COVID-19 mengakibatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Catatan buruk pertumbuhan ekonomi nasional terlihat pada saat rilis pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang hanya tumbuh sebesar 2,97 persen. Angka tersebut terperosok sangat jauh dari pertumbuhan ekonomi nasional semula yang stagnan di angka 5 persen. Akibatnya berpengaruh buruk terhadap dunia bisnis di Indonesia. Banyak perusahaan yang terancam gulung tikar. Kemudian pemutusan hubungan kerja mulai bertebaran.
Pemerintah merespons situasi ini dengan mengeluarkan kebijakan hukum di bidang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kebijakan tersebut adalah dukungan finansial atas dasar Perppu Nompr 2 Tahun 2020. Kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 sebagai pelaksanaan Perppu tersebut.
Tak tanggung-tanggung, melalui PP itu anggaran Rp 677 triliun digelontorkan sebagai upaya pemulihan ekonomi nasional. Dari anggaran tersebut, sektor kesehatan dialokasikan sebesar Rp 87,55 triliun. Bantuan sosial nasional Rp 203,9 triliun. Kemudian sektor UMKM dialokasikan sebesar Rp 123,46 triliun. Kemudian dukungan insentif relaksasi di bidang perpajakan stimulus lainnya sebesar Rp 120,61 triliun. Agar dunia usaha mampu bertahan.
Pasca dikeluarkan kebijakan pemulihan ekonomi nasional, nyatanya belum terlihat efek dari kebijakan pada pertumbuhan ekonomi saat ini. Justru pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III minus 5,32 persen. Terpuruknya pertumbuhan ekonomi saat ini merupakan catatan buruk bagi Indonesia sejak 1999. Apabila ini terus berlangsung, maka Indonesia akan jatuh ke jurang resesi. Resesi mengakibatkan iklim perekomian di Indonesia akan sulit. Krisis nasional bisa muncul dan berpotensi menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Indonesia.
Belum terlihatnya efek kebijakan pemulihan nasional karena serapan anggaran yang kurang maksimal. Serapan anggaran pemulihan ekonomi tercatat hanya kurang lebih 19 persen dari total anggaran yang digelontorkan pemerintah. Akibatnya, hal ini membuat Presiden Jokowi meluapkan amarahnya kepada para jajaran menterinya pada saat rapat kerja. Karena mereka dinilai belum maksimal memanfaatkan anggaran yang telah disiapkan. Mengapa serapan anggaran begitu sedikit? Ini bisa menjadi kecurigaan publik tentang kurangya transparansi dan akuntabilitas. Dalam pengelolaan anggaran pemulihan ekonomi nasional. Sehingga berpotensi dikorupsi.
OPTIMALISASI KEBIJAKAN PEN
UMKM menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan dalam PEN. Hal ini merupakan pilihan yang tepat. Karena UMKM di Indonesia menyerap 89,2 persen dari total total tenaga kerja. Sumbangan 60,34 persen dari PDB pun berasal dari UMKM. Pemulihan kembali sektor UMKM bisa berimplikasi pada penguatan daya beli rumah tangga yang menyumbang demand side besar pada PDB.
Dalam PEN, peran BUMN juga tidak bisa dilepaskan. Guna menyukseskan program ini. Seperti penyaluran sembako, subsidi listrik, serta distribusi dan penetapan harga jual BBM yang berasal dari kebijakan BUMN. Dari pihak perbankan juga harus memastikan penyaluran likuiditas kepada bank-bank kecil untuk UMKM.
Kemudian lembaga keuangan memastikan penjaminan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk UMKM berjalan aman serta PT SMI bisa membuka peluang bagi daerah untuk mengajukan pinjaman akibat COVID-19. Peran itu bisa semakin mengoptimalkan kebijakan pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah.
Besarnya bantuan finansial dalam kebijakan PEN yang akan disalurkan kepada masyarakat sangat rawan dikorupsi. Ini bisa terjadi apabila kebijakan PEN jauh dari transparansi. Prinsip transparansi merupakan amanat dari UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN. Prinsip tersebut perlu diterapkan pada kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Tujuannya agar anggaran yang diserap bisa diakses oleh publik serta menghindari potensi korupsi.
Transparansi PEN akan menciptakan tanggung jawab moral dalam pelaksanaan kebijakan. Prinsip transparansi menjadi pemicu bagi pejabat untuk melaksanakan kebijakan secara optimal. Penyerapan anggaran kebijakan bisa dilakukan dengan maksimal. Terutama penyaluran pada skema yang telah ditentukan. Dengan begitu, potensi korupsi bisa ditekan. Karena korupsi adalah salah satu faktor yang bisa menghambat berjalannya kebijakan PEN.
PERLU PENGAWASAN
Potensi masalah penegakan hukum dalam membongkar penyalahgunaan anggaran bisa terjadi akibat imunitas pejabat yang ditekankan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 terdapat aturan bahwa para stakeholder yang menggunakan anggaran tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Asalkan masih dalam koridor itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan. Kemudian segala keputusan stakeholder yang timbul akibat kebijakan pemulihan nasional juga tidak bisa menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: