Mahar Itu Haram…

Mahar Itu Haram…

MAHAR politik yang disajikan sebagai berita utama Harian Disway ini, dua hari berturut-turut kemarin. Tentu kita mafhum maksudnya. Yaitu ingin mengingatkan kita semua, bahwa mahar politik itu telah menjadi budaya. Dan dampaknya buruk bagi bangsa ini. Karena dari mahar itulah timbul kasus-kasus korupsi di kemudian hari.

Mahar itu, istilah dalam bahasa Arab. Yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Artinya mas kawin. Di dalam agama Islam, mahar atau mas kawin itu hukumnya wajib diberikan oleh calon pengantin pria, kepada calon istrinya. Diatur di dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Meski pun mahar itu di dalam hukum Islam diwajibkan adanya, tetapi juga diatur dengan jelas. Yaitu tidak boleh memberatkan calon pengantin. Juga tidak boleh didapatkan dari sumber yang diharamkan. Misalnya dari hasil korupsi. Atau usaha yang ilegal.

Mengikuti sajian berita di Harian Disway ini kemarin, keberadaan mahar politik itu nyata adanya. Tetapi tidak mudah dibuktikan. Nyata adanya karena ada pihak  yang mengakui. Tetapi tidak mudah dibuktikan, karena tidak ada satu partai pun yang menyatakan menetapkan adanya mahar itu.

Penulis sendiri, ketika menjadi anggota KPU  (Komisi Pemilihan Umum) Kota Balikpapan, 20 tahun lampau, sudah mendengar isu seputar mahar politik itu. Namun, sebagai seorang praktisi hukum, penulis berpegang pada fakta-fakta hukum. Dan isu seputar mahar politik itu, selalu mengemuka setiap menjelang peristiwa politik besar, seperti pilkada (pemilihan kepala daerah) sekarang ini. Obrolan di hampir semua warung kopi ya seputar mahar politik itu.

Misalnya si calon kepala daerah ini dimintai mahar lima miliar rupiah, oleh partai itu. Si calon ini sudah mengeluarkan dana sekitar dua puluh miliar rupiah, untuk memborong banyak partai, agar tidak ada lawannya yang bisa mendapatkan dukungan partai.

Memang sih di undang-undang Pilkada itu ada diberi peluang, orang maju sebagai calon lewat jalur independen. Tetapi syaratnya sangat berat. Boleh dibilang peluangnya kecil untuk dapat lolos dari syarat yang ditentukan.

Maklum lah, yang bikin undang-undang kan partai, lewat kader-kader mereka yang lolos ke gedung parlemen. Tentu partai sangat berkepentingan, semua calon peserta pilkada maju lewat partai.

Saat ini di Samarinda, kabarnya ada pasangan  independen/perseorangan yang bisa memenuhi syarat. Yakni pasangan Zairin Zain - Sarwono. Kita tunggu saja, apakah mereka bisa tampil sebagai calon resmi nantinya.

Kembali ke soal adanya Pilkada melawan kotak kosong. Tiga tahun lalu. Pernah terjadi di salah satu provinsi, di negeri kita ini. Suatu pemilihan kepala daerah (wali kota), yang hanya diikuti oleh satu pasangan saja. Kemudian satu pasangan itu, sesuai undang-undang pilkada, harus dilawankan dengan kotak kosong. Tragisnya, pemenang pilkada adalah si kotak kosong!

Ketentuan kotak kosong ini diatur. Selain dalam UU 10 Tahun 2016, aturan terkait kemenangan kotak kosong terinci pada Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018 Pasal 25 ayat 1 sampai 3 tentang pilkada dengan Satu Pasangan Calon. Melawan kotak kosong sebagaimana  Pasal 25 tersebut berbunyi;

(1) Apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto Pasangan Calon, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya.

(2) Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal terjadi penetapan penyelenggaraan pemilihan serentak periode berikutnya, sebagamana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota melalui KPU berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan dalam negeri untuk penugasan penjabat gubernur dan wakil gubernur, penjabat bupati dan wakil bupati, atau penjabat wali kota dan wakil wali kota.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: