Penanganan Banjir Samarinda, Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

Penanganan Banjir Samarinda, Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

Kemudian tahun 2004, baru Samarinda memiliki Tata Ruang yang sudah mulai mengikuti peraturan. Tapi belum maksimal. Karena memang penempatan vegetasi alami yang seharusnya ada, penentuan penempatannya belum cermat.

Bicara tahun 2020, Tata Ruang Samarinda sudah mulai bagus. Meskipun memang terbilang masih belum sempurna bagi kita yang perduli terhadap lingkungan. Contohnya saja Bandara APT Pranoto, bandara itu berdiri di kawasan rawa panjang, yang dulunya menjadi tempat air.

Q: Pemerintah Daerah seharusnya bisa memilih lokasi lain ya untuk bandara?
A: Budi - Masalahnya bukan memilih, tapi penunjukan wilayah tersebut merupakan wujud efisiensi pengeluaran daerah. Selain itu, wilayah datar dan panjang di sana juga menjadi satu alasan dipilihnya lokasi itu.

Q: Samarinda ini punya Universitas Mulawarman. Salah satu Fakultas yang digemari adalah Kehutanan, lantas bagaimana kontribusi Unmul ini terhadap Pemerintah Daerah?

A: Budi - Selama ini memang, kami selalu coba terlibat dalam proses yang menyangkut masalah lingkungan. Salah satunya kami ikut terlibat menjadi tenaga ahli untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), fungsinya yaitu jika KLHS ini tidak benar, maka Peraturan Tata Ruang itu tidak bisa disahkan. Jadi ini merupakan instrumen penting dalam penentuan Tata Ruang daerah.
Kami sudah dilibatkan, dan kami sudah memberikan masukan-masukan yang terbilang keras, guna menyelamatkan alam kita.

Satu lagi, kita juga telah menyusun kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kita ingin melihat, seberapa besar suatu ekosistem itu bisa menyediakan air, menyediakan pangan, mengendalikan iklim dan beberapa bidang lain yang jumlahnya ada 20.

Jawaban dari kajian tersebut, untuk menyediakan air bersih Kota Samarinda ini sudah susah payah. Sehingga sangat perlu dipikirkan terhadap upaya pengelolaan air tersebut.

Q: Apakah rekomendasi akademisi Unmul ini sudah dijalankan oleh pemerintah?

A: Budi- Nah, itu. Sepertinya tidak.

https://youtu.be/rBjkfJzKUfA

LANGKAH AWAL
Q: Untuk memperbaiki kondisi saat ini, apakah kawasan yang seharusnya terendam itu dikembalikan lagi atau lebih baik dikonversikan ke wilayah lain?

A: Budi - Jika kita coba mengembalikan ke kondisi semula, tentunya akan sulit. Bahkan biayanya cukup mahal karena akan membayar ganti rugi dan lain-lain. Yang bisa kita lakukan, yaitu kita deliminasi dulu lokasi mana yang masih menjadi lokasi penyimpanan air, kemudian ditetapkan sebagai kawasan yang harus dilindungi.
Kemudian wilayah yang sudah rusak, yang tidak memiliki vegetasi dan tanahnya sudah terbongkar bekas batu bara, dikembalikan dulu seperti semula. Minimal ditanami ulang supaya ada vegetasinya.

Terakhir, Zero Delta Q Policy. Artinya, kita melarang kegiatan pembangunan itu menimbulkan tambahan limpasan air. Contohnya, suatu daerah itu merupakan kawasan yang alami dengan limpasan air sebesar 750 kubik. Jika kemudian ada bangunan, jumlah limpasan air tidak boleh lebih dari angka semula. Caranya bermacam-macam, bisa membangun atau teknik apapun, agar tidak melebihi limpasan awal.

Q: Bagaimana Mas Kris?

A: Krisdiyanto - Sebenarnya yang paling utama, selama saya menganalisa banjir Samarinda, yaitu soal Mitigasi. Mitigasi yang gagal, bisa mengakibatkan nyawa melayang. Tahun ini saja, Samarinda sudah kehilangan 4 orang akibat banjir yang terjadi.

Ini penyebabnya macam-macam, ada yang tersetrum, lambat evakuasi dan lain-lain. Itu karena memang early warning system kita belum berjalan baik. Jika kerugian materi bisa dicari, sementara bagaimana dengan kehilangan nyawa, yang tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: