Penanganan Banjir Samarinda, Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

Penanganan Banjir Samarinda, Harus Tetapkan Kawasan Dilindungi

A: Apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Q: Budi - Sudah beberapa langkah dilakukan Pemerintah, namun sebagai masyarakat kita harus pahami dulu bahwa ada wilayah yang harusnya terendam. Jika wilayah yang seharusnya terendam itu kita isi dengan benda padat atau bangunan, maka kita harus memikirkan ke mana air yang harusnya ada tadi akan tersimpan. Kemudian bagaimana kita harus mengalirkan air itu dengan cepat ke pembuangan sungai.

Sebagai masyarakat, tentu kita tidak bisa membuat drainase dan gorong-gorong besar. Namun kita bisa berpartisipasi meresapkan air. Misalnya jika kita memiliki halaman di rumah, sebaiknya jangan seluruh wilayahnya dikeraskan atau disemen. Sebaiknya menyisakan sedikit area yang bisa meresapkan air. Jika semua orang melakukan hal yang sama, kita bakal membantu meresapkan air ke dalam tanah, dan mengurangi debit air yang mengalir ke sungai.


PERSEPSI YANG KELIRU

A: Sebagai pemerhati lingkungan, beberapa waktu lalu Samarinda mengalami banjir yang cukup parah. Bahkan kondisinya terjadi pada momen Idulfitri. Ketika itu Mas Kris mengabarkan lewat akun media sosialnya. Bagaimana bisa Mas Kris memprediksi banjir itu akan terjadi di wilayah ini? Jam segini?

Q: Krisdiyanto - Saya mulai mengamati SKM itu sejak tahun 2015. Memang sudah ada genangan-genangan, tapi tidak sebesar dua tahun terakhir ini. Tahun 2017, sempat juga terjadi banjir di Jalan Pemuda, yang ketinggiannya hingga pinggang orang dewasa.

Kemudian sejak 2019 sampai sekarang, kita sudah mengalami banjir sebanyak tiga kali. Semuanya itu terjadi pada Juni 2019, Januari 2020 dan kemudian Mei 2020. Tiga banjir tersebut, faktor penyebabnya berbeda-beda.
Tahun 2019, waktu itu hujan cukup lebat. Tepatnya malam hari. Di wilayah atas, hujan sudah terjadi selama satu minggu belakangan. Otomatis debit air kiriman cukup banyak. Dari hasil koordinasi, curah hujan cukup tinggi di seputaran wilayah Tanah Merah, Samarinda.

Pada pukul 07.00 Wita, pada 10 Juni 2019, kami melakukan pengukuran Bendungan Benanga hingga ke muaranya di Sungai Mahakam. Karena hujan yang terjadi cukup merata, sehingga masing-masing wilayah baik atas dan bawah berkontribusi masing-masing 50 persen terhadap debit air di sungai, hingga terjadilah banjir.
Ketika itu, banyak persepsi masyarakat bahwa banjir diakibatkan karena dibukanya pintu air Bendungan Benanga. Padahal itu persepsi yang salah. Karena Bendungan Benanga itu tidak memiliki pintu air, hanya ada pintu irigasi.

Pada banjir 9 Mei 2020. Dalam 5 tahun terakhir tinggi muka air Bendungan Benanga itu mencatat rekor tertinggi hingga 103 sentimeter. Dari data yang saya kumpulkan, pasang Sungai Mahakam itu, biasanya sampai sekitaran Gunung Lingai. Tapi pada momen itu, pasang Sungai Mahakam sudah sampai wilayah Lempake Tepian.

Kemudian kondisinya di wilayah Muara Badak terjadi hujan hingga banjir setinggi pinggang orang dewasa. Kontribusi air kiriman yang besar hingga pasangnya Sungai Mahakam. Ini jadi penyebab banjir yang terjadi pada waktu itu. Beda dengan penyebab pada Mei 2020.

Q: Dari pandangan pemerhati, solusinya seperti apa sih?

A: Krisdiyanto - Sebenarnya manajemen air itu ada tiga yang harus dilakukan. Berapa yang harus ditampung, berapa yang diserapkan, dan berapa yang dialirkan. Ketiga-tiganya itu harus berfungsi. Tidak bisa sebesar-besarnya air itu dialirkan semua. Berkaca pada saat hujan kemarin, saya coba menampung air yang jumlahnya mencapai satu tandon ukuran 1.200 kubik. Bayangkan jika masing-masing rumah melakukan hal yang sama, tentu banyak jumlah air yang bisa tertampung dan tidak seluruhnya teralirkan.
Di kawasan perumahan yang padat semen, aspal dan atap rumah, pola penampungan air bisa dilakukan dengan membuat tempat-tempat penampungan air hujan, seperti tong penyimpanan air.

Lalu, bagaimana mengalirkannya? Sungai itu berbeda dengan drainase. Sungai itu memiliki jalan sendiri. Meski dibuatkan jalan melalui normalisasi, sungai justru membentuk pulau-pulau kecil di badan sungai sehingga perlakuan terhadap sungai harus berbeda.


TATA RUANG
Q: Bicara soal RTRW, akademisi melihat seperti apa?

A: Budi - Bicara Tata Ruang itu kompleks. Kita harus tahu dulu mana kawasan hutan dan yang mana bukan kawasan hutan. Di Samarinda, kawasan hutan yang ada itu hanya di Taman Borneo (Eks Kebun Raya Unmul, Samarinda) saja. Jika berkaca dengan luas Kota Samarinda, kawasan hutan memang sangat kecil.

Di dalam aturan Tata Ruang, dalam satu wilayah atau daerah setidaknya harus menyisakan 30 persen kawasan yang bervegetasi alami. Vegetasi alami tidak hanya hutan saja, bisa juga kawasan rawa-rawa, kawasan vegetasi kecil yang kondisinya tidak boleh diapa-apakan lagi.
Kemudian apa yang terjadi dengan Kota Samarinda, memang Tata Ruang Samarinda baru-baru saja dikerjakan dengan serius. Tata Ruang Samarinda pertama keluar itu pada tahun 1999, kita sama-sama tahu pada waktu itu segala sesuatunya belum berjalan dengan baik, bahkan menurut saya cukup mengerikan di era itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: