Status Perempuan Hamil di Luar Nikah Menurut Pandangan 4 Mazhab
Ilustrasi ibu hamil--
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Pergaulan bebas lawan jenis yang tanpa batasan, kontrol diri, dan pengawasan bisa menyebabkan terjadinya perzinahan hingga hamil di luar nikah.
Ketika sudah terjadi demikian, pihak orang tua banyak yang memilih menikahkan anaknya yang sudah melakukan zina tersebut. Tujuannya sebagai alternatif untuk menutupi aib keluarga dan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari pihak laki-laki yang menghamili.
Hukum adat turut menyoroti pernikahan karena zina sebagai suatu keniscayaan untuk membersihkan nama baik keluarga. Sehingga pernikahan mendadak akibat perzinaan tidak jarang terjadi dan alasannya sudah diketahui oleh masyarakat luas.
Namun bagaimana fikih, sebagai syariat yang mengatur syarat dan rukun suatu ibadah ataupun muamalah, menyoroti fenomena pernikahan tersebut?
Dikutip nu online, pernikahan bukan hanya dilakukan dengan tujuan untuk menjalankan sunnah Rasul, melainkan juga dilakukan karena desakan situasi. Terlebih terkadang calon istri sudah mengandung bayi hasil hubungan di luar nikah.
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menyikapi pernikahan yang dilakukan oleh pelaku zina terutama yang sudah mengakibatkan kehamilan.
1. Mazhab Hanafi
Dalam konteks menikah saat hamil anak zina, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah jika dilakukan oleh laki-laki yang menyebabkan kehamilan. Sedangkan jika yang menikahi adalah laki-laki lain, ulama dalam mazhab ini berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki lain dengan perempuan yang hamil di luar nikah tetap sah.
Dengan syarat ketika sudah menikah, antara laki-laki lain dan perempuan yang hamil tersebut tidak dibolehkan melakukan hubungan badan hingga anak yang dikandungnya lahir.
Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Imam Zafar pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki lain dengan perempuan yang hamil di luar nikah tidak sah.
Sebab kehamilan perempuan tersebut menyebabkan terhalangnya persetubuhan yang meniscayakan adanya larangan pula dalam hal akad. (Utsman bin Ali, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzil Daqaiq wa Hasyiyah al Syibli [Kairo, al-Matba’ah al-Kubro al-Amiriyyah: 1314H], jilid II, h. 113).
2. Mazhab Maliki
Menurut ulama mazhab ini, pernikahan perempuan dan laki-laki yang berbuat zina hukumnya sah jika keduanya telah melakukan tobat. Sedangkan jika yang menikahi perempuan tersebut adalah laki-laki lain, maka pernikahannya tersebut tidak sah. (Ibn Qudamah, al-Mughni [Beirut: 1990], h. 601)
3. Mazhab Syafi’i
Ulama mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan ketika seorang perempuan hamil di luar nikah tetap sah, baik yang menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya atau pun laki-laki lain. (al-Jaziri, al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Darul Fikr, 1989], h. 519)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
