Status Perempuan Hamil di Luar Nikah Menurut Pandangan 4 Mazhab
Ilustrasi ibu hamil--
4. Mazhab Hambali
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa perempuan yang sedang hamil di luar nikah tidak sah dinikahi hingga ia melahirkan. Baik yang akan menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya atau pun laki-laki lain. (Abdul Azizi Amir, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, [Mesir, Darul Kutub al-Arabi: 1961], 26)
Berdasarkan keterangan tersebut, mayoritas ulama memandang bahwa pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang hamil di luar nikah hukumnya sah ketika laki-laki yang menikahi adalah ayah dari bayi yang dikandung.
Kecuali pendapat mazhab Hambali yang mengharuskan bayi untuk dilahirkan terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan.
Pernikahan Wanita Hamil menurut Hukum Islam
Selaras dengan pendapat mayoritas ulama, hukum di Indonesia khususnya yang tertuang di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga menyatakan keabsahan pernikahan perempuan hamil di luar nikah dan laki-laki yang menghamilinya.
Sebagaimana yang tertuang di dalam KHI pasal 53 berikut: Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Sementara untuk nasab si anak, anak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya (pezina) ketika ia dilahirkan 6 bulan atau lebih setelah pernikahan.
Sedangkan jika kurang dari 6 bulan, maka si anak tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya, kecuali si ayah mengakui bahwa si anak adalah anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak tersebut hasil zina.
Sementara jika ayanhnya mengatakan bahwa anak tersebut hasil zina, maka nasabnya tidak bisa tersambung, dan si anak tidak bisa untuk mendapatkan waris. (Syekh Muhammad Sholeh Munjid, al-Islam, Su’al wa Jawab, [2009], jilid V, h.7070)
Dengan demikian, sejatinya fikih juga membuka ruang bagi orang yang terjerumus ke dalam zina untuk melakukan pernikahan sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika dilihat dari sisi maslahatnya, hal ini bisa memberikan perlindungan terhadap hak anak yang tidak bersalah. Pasalnya, ketika pernikahan dilakukan ketika prediksi kelahiran masih 6 bulan atau lebih, anak akan tetap mendapat hak-haknya termasuk hak status nasab kepada ayahnya.
Namun, kendati pernikahan yang dilakukan tetap sah, akan tetapi pernikahan ini bukan sebagai penebus dosa dari perbuatan keji yang sudah dilakukan.
Sehingga perempuan dan laki-laki yang sudah terjerumus di dalam perbuatan ini harus tetap bertobat kepada Allah SWT.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
