Bankaltimtara

Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Selain dari lima prinsip itu, Soekarno pun menyampaikan bahwa ia menyukai simobilisme angka lima. Angka lima dinilai memiliki nilai “keramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia.

Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apalagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pandawa Lima). Pandawa pun lima bilangannya”. Hal lain juga bisa di tambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangan sebagai kode etika, yang disebut istilah “mo-limo”.

Setelah mengajukan lima sila dari dasar negara, ia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak suka bilangan lima, maka alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Namun jika bilangan tiga pun tidak disukai, maka alternatif selanjutnya menjadi satu: gotong royong.

Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong. Maknanya: prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong royong. Ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran. Bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan.

Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong royong (yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan). Bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif.

Prinsip kebangsaannya mesti berjiwa gotong-royong: mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, mampu menjalankan prinsip “bhinneka tunggal ika. Bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan.

Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong royong: mengembangkan musyawarah mufakat. Bukan demokrasi yang hanya dikuasai oleh suara mayoritas (mayokrasi) atau minoritas dari elite penguasa-pemodal (minorokrasi).

Prinsip kesejahteraannya pun harus berjiwa gotong royong: mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan. Bukan visi kesejahteraan yang berbasis inidividualisme-kapitalisme. Bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Pidato Soekarno tentang Pancasila itu begitu heroik, empatik, dan sistematik. Sehingga mendapatkan sambutan yang meriah dari para anggota dan peserta sidang BPUPK. Dikatakan heroik karena berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar-dasar negara yang disampaikannya di tengah opsir-opsir balatentara Jepang bersenjatakan bayonet. Langkah itu suatu tindakan yang penuh risiko.

Kemudian dikatakan empatik karena Soekarno berusaha menghargai dan melibatkan semua unsur dalam kerangka persetujuan. Dasar negara yang ia sampaikan adalah dasar negara yang bisa diterima oleh Soepomo, Muhammad Yamin, Ki Bagus Hadikoesoemo, semua tokoh pergerakan nasional. Sehingga negara Indonesia didirikan semua buat semua, satu untuk semua, dan semua untuk satu.

Kemudian dikatakan sistematik karena ia menguraikan Pancasila secara runtut, logis, dan koheren. Demikianlah sebuah peristiwa penuh dialektika intelektual. Di mana pendiri bangsa kita merumuskan sebuah dasar negara yang di atas dasar itu kita berdiri, saling merangkul, saling mengasihi di tengah perbedaan suku, agama, budaya. Satu dasar itu kita dipersatukan: Pancasila. (*Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Mulawarman)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: