Kurikulum Berganti, Ketimpangan Tak Kunjung Pergi
Suryadi.-dok.pribadi-
Oleh: Suryadi*
Saya masih ingat bagaimana guru-guru di Kutai Timur terlihat kebingungan saat Kurikulum 2013 mulai diterapkan.
Mereka sibuk mengganti istilah dalam RPP, mengikuti pelatihan yang terlalu teoritis, dan pada akhirnya tetap mengajar seperti biasa: ceramah, hafalan, dan latihan soal.
Hari ini, lebih dari satu dekade berlalu, kita kembali berada di titik yang sama. Pemerintah akan menerapkan Kurikulum Nasional 2025 dengan semangat baru: deep learning, penguatan karakter, dan integrasi teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Sekilas terdengar revolusioner. Namun sebagai orang yang mendampingi pelatihan guru di Kalimantan Timur, seraya bertanya: apakah perubahan ini benar-benar menyentuh ruang kelas?
Kurikulum Canggih, Tapi Tak Menyapa
Dalam berbagai forum, Kurikulum 2025 dibahas dengan penuh optimisme. Guru diminta menyusun pembelajaran berbasis proyek, siswa diajak untuk eksplorasi mandiri, dan sekolah didorong menjadi pusat inovasi. Namun di lapangan, realitasnya belum seindah itu.
Di desa-desa pedalaman Kalimantan Timur, banyak sekolah yang masih bergantung pada modul fotokopi, sinyal internet yang datang dan pergi, dan guru honorer yang gajinya di bawah UMR. “Kami disuruh bikin pembelajaran kontekstual, tapi buku saja belum cukup,” kata seorang guru SD di pinggiran Mahakam Ulu.
Ia bukan menolak inovasi, tapi mempertanyakan kesiapan sistem.
Apa gunanya bicara literasi digital, jika ruang kelas masih gelap karena listrik padam? Apa maknanya “AI untuk pendidikan”, jika gurunya bahkan belum mendapat pelatihan pedagogi berbasis teknologi?
Guru Diikat Beban, Bukan Diberi Kebebasan
Dalam setiap perubahan kurikulum, guru selalu ditempatkan di garda depan. Tapi anehnya, mereka jarang dilibatkan secara bermakna dalam perumusan kebijakan. Guru hanya menerima sosialisasi, pelatihan kilat, lalu ditinggalkan untuk berjuang sendiri menafsirkan apa itu merdeka mengajar.
Kurikulum 2025 menjanjikan fleksibilitas dan otonomi.
Tapi faktanya, sebagian besar guru masih terjebak dalam tugas administratif yang menyita waktu: laporan bulanan, input platform digital, sampai validasi asesmen daring. Alih-alih menjadi fasilitator pembelajaran, guru justru lebih sering menjadi operator sistem.
Reformasi kurikulum tidak akan berdampak signifikan jika tidak dibarengi dengan reformasi beban kerja guru. Mereka butuh pelatihan yang relevan, mentoring berkelanjutan, dan ruang eksperimen yang tidak dihukum ketika gagal. Tanpa itu, jargon pembelajaran berdiferensiasi hanya akan menjadi slogan kosong di spanduk pelatihan.
IKN dan Ilusi Pemerataan
Sebagai warga Kalimantan Timur, saya tentu bangga bahwa daerah ini menjadi lokasi Ibu Kota Negara (IKN) yang baru. Namun euforia pembangunan infrastruktur belum terasa nyata dalam konteks pendidikan. Jalan raya dan gedung perkantoran memang dibangun, tetapi perpustakaan sekolah dan laboratorium sains masih menjadi mimpi.
Ironis, di saat pusat pemerintahan negara dipindah ke Kalimantan, ketimpangan pendidikan justru tetap menganga. Jika kurikulum baru tidak disertai dengan pemerataan akses dan sumber daya, maka yang terjadi hanya perubahan permukaan—tanpa perubahan makna.
Kurikulum harus menjadi alat keberpihakan. Sekolah-sekolah di sekitar IKN seharusnya dijadikan contoh pendidikan kontekstual berbasis lokalitas. Tapi sayangnya, banyak sekolah di daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan subjek inovasi.
Dari Instruksi Menuju Dialog
Kurikulum seharusnya lahir dari dialog antara guru, siswa, dan masyarakat, bukan dari ruang seminar yang jauh dari realitas kelas. Banyak guru di daerah yang punya ide cemerlang, pendekatan kreatif, dan inovasi lokal. Sayangnya, mereka jarang mendapat ruang untuk didengar, apalagi dilibatkan dalam penyusunan kurikulum nasional.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
