Konflik Tanah di Kutim Muncul Akibat Administrasi Lemah dan Aturan Usang
Plt asisten I, Trisno-Sakiya Yusri/Nomorsatukaltim-
KUTIM, NOMORSATUKALTIM - Persoalan sengketa tanah di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) hingga kini masih menjadi salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Jumlah kasus yang muncul dari tahun ke tahun terus bertambah dan sering kali menimbulkan ketegangan antara masyarakat, kelompok tani, dan perusahaan.
Plt Asisten I Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kabupaten Kutim, Trisno menilai akar masalah tidak bisa dilepaskan dari lemahnya sistem administrasi pertanahan di masa lalu serta regulasi yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Ia mencontohkan, konflik lahan sebenarnya baru mengemuka ketika tanah mulai memiliki nilai ekonomi.
BACA JUGA: Hutan Lindung Wehea Kutim Terancam, Jalan Putus, Dana Pengawasan Terbatas
BACA JUGA: Camat Tering Beberkan Langkah Mediasi Konflik Lahan ISM dengan Warga Kelian Dalam
Pada masa awal 2000-an, menurutnya, konflik hampir tidak pernah terdengar karena lahan belum dipandang bernilai tinggi.
“Contohnya gini, pada saat tahun 2000-an tanah di Sangatta, mana ada konflik. Karena tidak punya nilai ekonomi. Berarti begitu banyak konflik, orang berkepentingan terhadap suatu aset, berarti nilai ekonomi tinggi di situ,” ujar Trisno, saat di temui di ruangannya, Rabu 24 September 2025.
Namun, di balik fenomena tersebut, Trisno menegaskan bahwa persoalan administrasi menjadi pangkal masalah. Sebelum tahun 2021, penerbitan surat tanah dilakukan tanpa dasar data koordinat yang jelas.
Kondisi ini memungkinkan lahan yang sudah dimiliki warga kembali diterbitkan untuk pihak lain sehingga menimbulkan klaim tumpang tindih.
BACA JUGA: Bupati Kutim Sebut Dampak Pemotongan DBH Sangat Mengerikan bagi Daerah
BACA JUGA: Ada Positifnya Sengketa Lahan, Dorong Pemilik Lahan Urus Legalitas
Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk mengurus legalitas lahan juga masih rendah. Tidak sedikit warga yang hanya menandai tanah dengan patok kayu atau pohon tertentu, tanpa ada dokumen resmi yang mengikat.
Konflik semakin rumit ketika melibatkan kelompok tani pasif. Mereka pernah membuka lahan tetapi tidak melakukan perawatan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
