FWI menyebut percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai salah satu faktor yang mempercepat pembukaan lahan di wilayah pesisir dan area berhutan.
BACA JUGA: Setelah Sumatera, Balikpapan Waspada Banjir dan Longsor, Begini Strategi BPBD
"Sejak 2018 sampai 2021, wilayah yang kini menjadi kawasan IKN sudah kehilangan sekitar 18 ribu hektare hutan, dan sisa hutan alam yang tinggal hanya sekitar 26,8 ribu hektare atau 10 persen. Mayoritas berada di hutan produksi dan APL, zona yang paling mudah dikapling untuk izin baru," ungkap Tsabit.
Ia menilai lemahnya pembatasan izin menunjukkan minimnya komitmen perlindungan hutan. "Kalau di proyek paling bergengsi negara saja pemerintah membiarkan hutan tersisa terus tergerus, itu sinyal jelas bahwa komitmen iklim lebih banyak menjadi slogan daripada tindakan nyata," sambungnya.
Lebih jauh, FWI menyampaikan langkah yang dirasa mendesak untuk dilakukan pemerintah guna menghentikan laju kehilangan hutan.
Dengan rekomendasi sederhana, yaitu hentikan izin di kawasan kunci, cabut konsesi yang terbukti merusak, dan kembalikan ruang kelola bagi masyarakat adat sebagai penjaga hutan.
BACA JUGA: Deforestasi di Indonesia Sudah Keterlaluan, 1,93 Juta Hektare Hutan Hilang dalam 2 Tahun
BACA JUGA: Deforestasi 2024 Didominasi Konsesi Berizin, Pertambangan Seluas 38.615 Hektare
"Tanpa itu, narasi ekonomi hijau dan kota hutan hanya akan menjadi penutup laju deforestasi yang semakin cepat," ujarnya.
"Keputusan politik pemerintah dalam 2 sampai 3 tahun ke depan akan menentukan apakah Kalimantan Timur memasuki siklus bencana ekologis besar, atau memilih arah pemulihan dan pengelolaan ruang hidup yang berkelanjutan," pungkas Tsabit.
Sebagai informasi, FWI merupakan jaringan pengawasan hutan independen yang berfokus pada pemantauan kondisi hutan Indonesia dan mendorong tata kelola ruang hidup yang transparan dan berkeadilan.