oleh: Syamsul Rijal*
BEBERAPA tahun terakhir, pasar rokok di Indonesia memperlihatkan tren yang menarik sekaligus membingungkan.
Di tengah kampanye bahaya merokok dan regulasi iklan yang makin ketat, muncul berbagai merek rokok dengan nama-nama yang terdengar “segar”, seperti Mangga, Jambu, Apel, Nanas, dan lain-lain.
Sekilas, nama-nama itu terasa manis dan ringan; lebih cocok untuk jus buah atau permen daripada produk tembakau. Namun, justru di situlah letak persoalannya.
Bahasa yang Menyamarkan Bahaya
Dalam teori semiotika, nama bukan sekadar label, melainkan pembawa makna dan citra. Ketika produsen rokok memilih nama buah, mereka sebenarnya sedang membangun citra yang berlawanan dengan realitas produk itu sendiri.
Buah identik dengan alam, kesegaran, dan kesehatan; sementara rokok identik dengan risiko, asap, dan penyakit. Maka, penempelan kata “buah” pada merek rokok adalah bentuk eufemisme komersial, yakni upaya melunakkan makna negatif melalui simbol yang positif.
Dalam hal ini, bahasa tidak lagi bersifat netral. Ia digunakan untuk menenangkan rasa bersalah dan menciptakan ilusi “ringan”. Rokok dengan aroma buah seolah-olah lebih aman, lebih modern, atau bahkan lebih “fun”.
Padahal, zat kimia dan nikotinnya tetap sama. Yang berubah hanyalah aroma dan cara produk itu dibungkus secara makna. Di sinilah bahasa bekerja bukan sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai strategi pengaburan makna.
Pergeseran Target dan Budaya Konsumen
Strategi penamaan ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan target pasar. Ketika ruang iklan konvensional dibatasi, industri rokok mengalihkan fokus pada segmen yang lebih mudah dipengaruhi oleh citra dan rasa, terutama pada anak muda, perempuan, dan perokok pemula.
Nama-nama buah menciptakan kesan manis dan bersih, sehingga rokok tampil seperti bagian dari gaya hidup, bukan kebiasaan berisiko.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana budaya konsumsi di Indonesia semakin simbolik. Produk tidak lagi dijual berdasarkan fungsi, tetapi berdasarkan perasaan dan imajinasi. Orang membeli bukan karena kebutuhan, melainkan karena makna yang melekat pada nama dan kemasannya.
Dengan demikian, industri tembakau sebenarnya sedang menjual “rasa aman” yang semu, yaitu rasa yang lahir dari manipulasi bahasa.
Ideologi di Balik Diksi
Fenomena merek buah ini dapat dibaca sebagai bentuk ideologi komodifikasi bahasa, yakni ketika kata-kata dipakai untuk mengaburkan relasi antara produk dan dampaknya. Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari pasar, bukan dari akal sehat.