KUKAR, NOMORSATUKALTIM - Suasana Kota Tenggarong Minggu (28/9/2025) padat dan riuh. Ribuan warga turun ke jalan. Mengikuti proses belimbur, yang menjadi penandat berakhirnya Festival Erau Adat Kutai 2025.
Ribuan pasang mata berkumpul mulai dari depan Kesultanan, Jalan Diponegoro hingga Tepian Kota di Jalan Akhmad Muksin Timbau.
“Atas nama Kesultanan Kutai Kartanegara, kami menyampaikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang mendukung terlaksananya Erau tahun ini,” ujar Pangeran Noto Negoro Heriansyah, juru bicara Kesultanan, mewakili Sultan,pada Minggu 28 September 2025 pagi.
BACA JUGA:Imutnya, Anak-Anak TK Mentari di Loa Janan Diajarkan Tradisi Erau Sejak Dini
Meski gerimis, proses tetap dilanjutkan, diawali dengan pelarungan dua naga. Yaitu Anggana dan Anggini, dari pelabuhan depan Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura menuju Kutai Lama, Kecamatan Anggana.
Ritual ini dipercaya sebagai napak tilas munculnya Putri Karang Melenu, figur penting dalam sejarah Kesultanan.
Ngulur naga adalah inti dari prosesi adat Erau. Yakni mengarak replika naga laki-laki dan perempuan dari keraton hingga ke Desa Kutai Lama yang pernah menjadi ibu kota Kesultanan Kutai.
BACA JUGA:Barzanzi dan Rudat Meriahkan Malam Erau di Keraton
Dalam perjalanannya, rombongan singgah di Batang Aji, Samarinda Seberang, untuk berkenyawa sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Kutai Lama.
Ia menambahkan bahwa prosesi ngulur naga dan belimbur bukan hanya ritual adat. Tetapi juga sarana melestarikan tradisi luhur masyarakat Kutai.
BACA JUGA:Balap Ketinting di Kukar Ramaikan Festival Erau 2025, Ini Para Juaranya
“Kita berharap prosesi ngulur naga dan belimbur berlangsung lancar, aman, serta tetap memetik hikmah dari nilai-nilai adat yang diwariskan leluhur,” katanya menegaskan.
Setelah itu, saat matahari tepat di atas kepala, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Aji Muhammad Arifin, menyiramkan air tulik, air suci yang dibawa langsung dari Kutai Lama.
Sebelum masyarakat beramai-ramai saling menyiramkan air sebagai simbol penyucian diri.
Meskipun cuaca berganti terik, namun tak menyurutkan keseruan ribuan masyarakat yang saling menyiram dengan air Sungai Mahakam.