KUBAR, NOMORSATUKALTIM – Gelombang penolakan terhadap perusahaan sawit PT Borneo Daya Lestari Raya (BDLR) terus bergulir.
Warga Kampung Intu Lingau, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), menyatakan dengan tegas bahwa aktivitas perusahaan itu telah melanggar batas-batas kesabaran dan hak masyarakat.
Meski DPRD Kubar telah memutuskan bahwa seluruh aktivitas PT BDLR harus dihentikan sementara hingga persoalan hukum dan sosial diselesaikan.
Namun perusahaan tersebut tetap melanjutkan pembukaan lahan di wilayah yang berdekatan dengan pemukiman warga.
BACA JUGA: Konflik Agraria Mengemuka, DPRD Kubar Hearing Sengketa Warga Intu Lingau dengan PT BDLR
BACA JUGA: Ketua DPRD Sebut Ada 5 Proyek Raksasa APBD Kubar Jadi Temuan BPK, Desak Pemkab Serius Tindak Lanjuti
“Kami sudah menyampaikan semua jalur. Kami sudah bicara di kampung, bicara di kabupaten, bahkan sampai ke ruang pemerintah daerah yang diwakili asisten bupati. Tapi tetap saja perusahaan ini tak menghentikan aktivitasnya,” ujar Yayan Viktoria, perwakilan masyarakat Kampung Intu Lingau kepada NOMORSATUKALTIM, Jumat, 1 Agustus 2025.
Yayan menjelaskan bahwa masyarakat telah lama menyuarakan penolakan terhadap keberadaan PT BDLR karena perusahaan itu bekerja tanpa menunjukkan dasar legal yang jelas.
Dalam berbagai pertemuan formal dengan DPRD dan pemerintah daerah, PT BDLR disebut tidak pernah menunjukkan dokumen hukum seperti sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau perizinan lainnya yang sah.
Warga Solid Menolak, Perusahaan Tetap Beroperasi
Warga Kampung Intu Lingau yang berjumlah lebih dari 2.000 jiwa, satu suara dalam penolakan ini.
BACA JUGA: Kapolres Kutai Barat Tegaskan Komitmen Awasi Tambang Ilegal: Kami Tidak Bisa Bekerja Sendiri
BACA JUGA: Sengketa Lahan Berlarut, Pemkab Mahulu Usulkan Solusi Lahan Plasma untuk Masyarakat dan Perusahaan
Menurut mereka, aktivitas PT BDLR telah mengancam hutan, lahan produktif, dan masa depan ekonomi masyarakat.
“Lahan yang mereka garap itu kebun durian, kebun karet, ladang sayur semuanya sumber kehidupan kami. Mereka sudah masuk ke wilayah kampung. Ini bukan tanah kosong. Ini tanah hidup,” tegas Yayan.
Apa yang terjadi di Kutai Barat mengingatkan pada pola konflik agraria yang telah berlangsung lama di berbagai daerah Indonesia.