Menurutnya, hal itu bisa berisiko hukum karena prosesnya tidak sesuai tahapan yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran.
“Negara minta efisiensi anggaran. Buktinya ADK kami saja dipotong Rp80 juta. Tapi kenapa justru Dinas Kesehatan membangun baru, bukan merehab? Ini kontradiktif dengan semangat penghematan yang diperintahkan Presiden,” jelasnya.
Rudy juga mengutip bimbingan teknis kepala desa yang disampaikan oleh narasumber dari BPKP, Inspektorat, dan Tipikor.
BACA JUGA: Taman Budaya Sendawar Jadi Saksi Penobatan Kanda Dinda Kutai Barat 2025
BACA JUGA: Mahasiswa KKN Unmul Diterjunkan ke Kubar, Diminta Observasi Sebelum Buat Program
Dari kegiatan itu, para petinggi kampung diingatkan untuk berhati-hati terhadap intervensi pembangunan terhadap aset milik pemerintah daerah.
“Kami diajari untuk tidak sembarangan menyentuh aset pemerintah kabupaten. Harus ada dasar hukum. Makanya kami berhati-hati. Kalau ada serah terima nanti, kami tidak berani terima,” tegasnya.
Ia pun menyesalkan ketidakhadiran pihak Inspektorat dalam rapat pembahasan proyek tersebut.
“Inspektorat diundang tapi tidak datang. Alasan mereka sibuk. Tapi masa semua orang sibuk? Kan ada Irban Satu untuk wilayah Muara Pahu,” katanya.
BACA JUGA: 10 Guru Kutai Barat Ikuti Seleksi Nasional Kepala Sekolah 2025, Era Baru Manajerial Pendidikan
BACA JUGA: Proyek Miliaran DLH Kutai Barat Diduga Mangkrak dan Tidak Transparan
Rudy menyadari bahwa secara regulasi, pemerintah kampung tidak memiliki kewenangan dalam proyek milik SKPD.
Hal itu sesuai dengan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang kewenangan desa dan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang kewenangan pemerintah daerah.
“Tapi tetap saja kami bertanya, kenapa usulan kami bisa berubah tanpa pemberitahuan? Harusnya ada transparansi dan komunikasi. Kami akan belajar dari hal ini, agar tidak terjadi lagi ke depan,” pungkasnya.