Prabowo ingin menghilangkan disparitas kaya-miskin. Tingginya disparitas kaya-miskin ini adalah pemicu terjadinya tindak kriminalitas. Misalnya saja, saat seseorang duduk di depan Kantor Gubernur Kaltim. Memandang kemegahan bangunan tersebut dari tepian Mahakam.
Sambil update status di sosial media, memamerkan pemandangan itu kepada warganet. Di tempat yang sama, ada orang miskin yang bingung mencari uang. Anaknya di rumah belum makan. Handphone orang tadi pun bisa jadi sasarannya.
BACA JUGA:Pilkada, Satu Suara Sangat Penting
Dia ambil, lalu secepatnya dijual di penjual Hp bekas. Laku Rp 300 ribu. Uang itu langsung dia gunakan membeli makan untuk anaknya. Setidaknya bisa bertahan sampai tiga hari. Mungkin bisa lebih. Itulah tindakan keputusasaan yang terpaksa dilakukan.
Sifat dasar manusia adalah butuh makan. Setelah terpenuhi, barulah kebutuhan lain. Ketika itu tidak terpenuhi, mereka akan melirik orang di dekatnya yang hidup mewah. Di sanalah potensial kriminalitas.
Intinya, semua kejahatan bersifat ekonomi. Semua penjahat bersifat rasional. Semua calon penjahat membuat penilaian biaya-manfaat dari kemungkinan imbalan atas pelanggaran hukum dibandingkan dengan kemungkinan tertangkap dan dihukum.
Dalam dunia penjahat yang memaksimalkan utilitas, tempat-tempat yang memiliki kesenjangan yang lebih besar. Antara orang miskin (calon penjahat) dan orang kaya (calon korban).
Jika semua hal lain sama, akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tempat atau wilayah yang disparitasnya rendah. Saya yakin, kalau program ini dijalankan maksimal, kriminalitas di Indonesia bisa menurun.
*penulis adalah jurnalis disway, Sekretaris Bidang Medkominfo DPP GAMKI, Ketua Umum Pemuda PGIW Jatim