BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM - Perubahan iklim terus menjadi perhatian global, bukan hanya karena dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap keselamatan penerbangan.
Pada hari Selasa (21/5/2024), penerbangan Singapore Airlines SQ321 dari London menuju Singapura mengalami turbulensi parah.
Akibatnya, pesawat harus melakukan pendaratan darurat di Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand, pada pukul 15.45 waktu setempat.
BACA JUGA: Anomali Cuaca Akibat Perubahan Iklim, Kaltim Siaga Karhutla
Insiden ini menyebabkan 30 orang luka-luka dan satu penumpang meninggal dunia. Pihak maskapai menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban.
Kondisi ini memicu kekhawatiran tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi perjalanan udara.
Dikutip dari Telegraph, Rabu (22/5/2024), para peneliti dari Universitas Reading, Inggris menunjukkan bahwa suhu yang lebih tinggi akibat krisis iklim menyebabkan peningkatan turbulensi yang signifikan di seluruh penerbangan transatlantik.
BACA JUGA: Dulu Knee Down, kini Menyeret Bahu: Rahasia Rider MotoGP Kian Rebah dalam Melibas Tikungan
Dalam periode antara tahun 1979 hingga 2020, insiden turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen karena perubahan kecepatan angin di ketinggian.
Menurut Prof. Paul Williams dari Universitas Reading, penelitian mereka menunjukkan bahwa langit yang lebih "berombak" telah tiba.
Industri penerbangan perlu berinvestasi dalam sistem yang lebih baik untuk memperkirakan dan mendeteksi turbulensi. Hal ini penting untuk mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi di masa depan.
BACA JUGA: BMKG Ingatkan Potensi Bencana Kelaparan akibat Perubahan Iklim
Fenomena Turbulensi dalam Beberapa Dekade Terakhir
Sebelum insiden tragis pada penerbangan Singapore Airlines SQ321, korban terakhir yang dikonfirmasi akibat turbulensi pada penerbangan terjadwal adalah pada tahun 1997, dalam penerbangan United Airlines dari Tokyo ke Honolulu.
Apakah krisis iklim memperburuk keadaan?