IKN Nusantara di Persimpangan Jalan: Batu Loncatan atau Batu Sandungan?

Selasa 15-02-2022,14:22 WIB
Oleh: Disway Kaltim Group

KUTAI KARTANEGARA - Thomas Robert Malthus, seorang ekonom kenamaan Inggris pernah menjelaskan bahwa angka pertumbuhan manusia yang mengikuti deret geometrik, sedangkan pertumbuhan angka sumber daya alam (SDA) yang mengikuti deret aritmatika, akan menyebabkan timpangnya jumlah manusia dengan sumber daya yang menopang pemenuhan kehidupan. Sehingga bisa berakibat pada bencana kelangkaan ketika SDA itu tidak lagi mampu menopang kehidupan manusia. Pada abad 21, untuk menutupi keterbatasan SDA itu, maka dilakukan industrialisasi yang semakin gencar dan liberalisasi perdagangan semakin meluas untuk menopang kebutuhan konsumsi manusia serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan salah satu dampak utama dari pertumbuhan ekonomi serta industrialisasi adalah kebutuhan yang besar akan energi terutama sekali migas dan batu bara, dalam perkembangan selanjutnya, energi migas selain menjadi komoditas ekonomi, juga menjadi aset kekuatan nasional untuk peningkatan pendapatan negara. Akan tetapi, studi yang pernah dilakukan oleh Richard Auty melahirkan hipotesis bahwa negara yang memiliki SDA melimpah bisa mengalami paradoks, yakni ketika kekayaan SDA tadi ternyata tidak mampu menyejahterakan negara atau masyarakat di mana SDA itu berada. Fenomena ini dikenal dengan sebutan kutukan sumber daya alam (resources curse), dan hipotesis ini diperkuat oleh temuan Jeffrey Sachs dan Andrew Werner bahwa negara atau daerah yang kaya SDA itu mengalami pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang rendah (Jeffrey Sachs dan Andrew Werner, 1995). Fenomena kutukan alam ini ternyata benar-benar dialami oleh Kalimantan Timur (Kaltim). Ketergantungan provinsi ini dengan SDA malah membuat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastrukturnya rendah. Tercatat pada 2021 lalu pertumbuhan ekonomi Kaltim masih rendah di angka 2,48 persen bahkan sempat menyentuh minus 2,87 persen pada tahun 2020. Kemudian disusul angka pengangguran tertinggi ke tujuh secara nasional sebesar 6,83 persen. Inilah dilema provinsi kaya SDA migas di Indonesia, karena UU migas mengatur bahwa pendapatan migas hampir 90 persen menjadi jatah pusat. Kaltim hampir dalam 5 dekade mendapatkan APBD yang selalu di bawah 10 persen dari PDRB. Lalu, bagaimana dengan infrastruktur jalan di Kaltim yang banyak rusak? Trans Kalimantan yang parah itu memiliki panjang 2.200 km dan menjadi tanggung jawab APBN, bukan APBD. Untuk menjawab ini, Ragnar Torvik pernah membuat penelitian, bahwa kenapa sebagian negara yang memiliki SDA melimpah mampu berhasil dan sebagian lagi gagal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain seperti sejauh untuk apa pendapatan dari sektor SDA itu diperuntukkan, bagaimana institusi yang mengelolanya dan yang terpenting adalah industrialisasi mutakhir apakah dilakukan atau tidak (Ragnar Torvik, 2009). Fenomena perbaikan ini ada ketika tumbuh komitmen kuat pada pemerintahan Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota negara ke Kaltim, melalui UU IKN yang telah disahkan bersama DPR RI pada tanggal 18 Januari 2022. Maka hal ini menjadi momentum dan tonggak sejarah besar bagi segenap bangsa Indonesia, utama nya bagi masyarakat Kaltim dalam menatap masa depan perjalanan bangsa dalam menghadapi tantangan dan semangat zaman (zeitgeist) yang semakin cepat mengalami perubahan (dromologi) (Yasraf Amir Piliang, 2014). Ibu Kota Negara Nusantara di Persimpangan Jalan Penulis berpandangan untuk tidak terjebak pada dikotomi menolak atau menerima IKN Nusantara di Kaltim. Karena semenjak sudah disahkan dalam bentuk produk hukum negara yakni UU IKN, maka mau tidak mau dan suka tidak suka harus diterima dan dijalankan, kecuali jika ada usulan perubahan UU, yang tentu nya tidak akan dibahas oleh penulis. Tulisan kali ini lebih berfokus pada level analisis dampak baik dan buruknya ketika pembangunan IKN itu sudah terlaksana. Andrew Smith menganalogikannya seperti batu, apakah IKN Nusantara ini menjadi batu sandungan (stumbling block) atau sesuai harapan bersama bahwa ini menjadi batu pijakan untuk melangkah lebih baik (stepping stone) (Andrew Smith, 2015). Hal ini sama dengan keputusan pembangunan IKN Nusantara di Kaltim. Pertanyaannya, ada di persimpangan jalan apakah hal ini menjadikan Indonesia lebih mengarah pada ketimpangan dan kemunduran, atau keadilan dan kemajuan. Pertama dari perspektif IKN Nusantara ke Kaltim sebagai batu penghalang, hal ini sebagaimana digambarkan oleh Didin Damanhuri di Media Republika bahwa keputusan pembangunan IKN sebaiknya ditunda. Mengingat dari segi pembiayaan negara belum 100 persen siap karena masih tingginya utang serta efek pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya hilang. Selain itu, isu oligarki juga semakin timbul, bahwa pemindahan IKN Nusantara ke Kaltim hanya akan menyebabkan ketimpangan ekonomi semakin tajam antara kelompok oligarki (kalangan penguasa ekonomi) dan masyarakat kelas bawah biasa. Pandangan ini diperkuat oleh tulisan yang dirilis oleh Jatam. Bahwa IKN Nusantara hanya akan menguntungkan segelintir kelompok oligarki penguasa ekonomi-politik yang utamanya memiliki konsesi lahan perkebunan dan tambang Selain itu pembangunan ibu kota baru dianggap hanya akan semakin menambah kerusakan bagi ekologi dan flora – fauna di kawasan IKN Nusantara – Kaltim (Jatam, 2022). Kedua dari perspektif IKN Nusantara sebagai batu loncatan, sudah mafhum bahwa di mana ada tantangan maka di situ ada peluang. Seperti penulis jelaskan sebelumnya bahwa Kaltim adalah daerah yang kaya akan SDA tapi tingkat pertumbuhan ekonomi nya rendah dan penganggurannya tinggi. Hal ini yang sering disebut sebagai kutukan sumber daya alam, Michael Ross menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena daerah-daerah kaya SDA berada di posisi enclave (kantong) yang terisolasi dari jalur perdagangan industri turunan. Sehingga tidak terjadi diversifikasi dan produk yang dihasilkan semata-mata hanya bahan mentah (raw materials) yang bernilai rendah (Michael Ross, 2012). Selain itu, Immanuel Wallerstein menjelaskan bahwa daerah-daerah yang kaya SDA seringkali hanya menjadi kawasan periphery (pinggiran), bukan core (inti) (Wallerstein, 2004). Karena itulah daerah yang kaya SDA sering kali tertinggal, karena hanya dianggap sebagai wilayah penyuplai bahan-bahan mentah untuk di bawa ke kawasan inti. Dalam konteks Indonesia adalah kekayaan Kaltim hanya di suplai ke kawasan inti ibu kota Jakarta dan sekitarnya untuk menjadi produk jadi, dan pendapatan dari kekayaan alam itu sendiri hanya menyisakan sedikit untuk Kaltim dan sebagian besar diperuntukkan bagi pemerintah pusat dalam hal ini adalah Jakarta dan Pulau Jawa. Maka, keputusan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN Nusantara di Kaltim adalah batu pijakan yang luar biasa. Karena daerah pinggir kaya SDA bernama Kaltim itu sendiri kini telah menjadi kawasan inti Ibu Kota Nusantara. Ini membalikkan teori disparitas kawasan inti dan pinggir, dan ini memang sebagaimana yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi bahwa pemindahan IKN ke Kaltim sebagai upaya menciptakan Indonesia yang lebih merata dan berkeadilan karena terletak di tengah, sehingga mudah di akses oleh kawasan barat maupun timur Indonesia. Ditambah proyek infrastruktur yang besar di Kaltim karena pembangunan IKN, akan menggelontorkan uang yang tidak sedikit. Sehingga terjadi efek pada roda perekenomian yang bergerak dan tumbuh di Kaltim, dan akan terjadi multiplier effect (efek berganda) dari aktivitas ekonomi yang tinggi akan berefek pada peningkatan pendapatan dan konsumsi. Selain kebijakan long-term yang dengan sendirinya membuat Kaltim akan tumbuh dari daerah yang sekadar penyuplai kebutuhan sumber bahan mentah menjadi kawasan pusat kegiatan ekonomi-politik-sosial-budaya, yang dengan sendirinya terjadi proses industrialisasi dan hidupnya sektor jasa dari berbagai bidang. Dari catatan ekonom Universitas Mulawarman Aji Sofyan Effendi bahwa pemindahan ibu kota ke Kaltim akan menyebabkan perekonomian lebih terdiversifikasi ke arah sektor yang lebih padat karya. Sehingga dapat membantu untuk menurunkan kesenjangan antar kelompok pendapatan, baik di tingkat regional daerah maupun tingkat nasional, dengan asumsi kenaikan GDP nasional 0,1 persen, kenaikan price of labor 1,37 persen dan kenaikan price of capital 0,23 persen (Aji Sofyan, 2022). Sebagai kesimpulan, baik perspektif negatif maupun positif dari proses pembangunan IKN Nusantara di Kaltim harus ditelaah dan dianalisis secara preskriptif. Sehingga semua fakta yang ada bisa di validasi dan dianalisis untuk dijadikan rumusan dalam mengambil keputusan yang terbaik untuk saat ini dan ke depan. Baik itu untuk IKN Nusantara secara khusus dan Indonesia secara keseluruhan, agar IKN ini memiliki dampak pemerataan pembangunan, bukan malah pemerataan permasalahan dari ibu kota sebelumnya ke Kaltim. Maka sudah menjadi harapan kita semua untuk Indonesia yang  tumbuh berkembang ekonominya tapi tidak merusak lingkungan dan semakin sejahtera serta berkeadilan rakyatnya dengan tidak sekadar memperkaya kelompok tertentu. (*/Dosen Universitas Kutai Kartanegara)  

Tags :
Kategori :

Terkait