Samarinda, nomorsatukaltim.com - Pemkot Samarinda berupaya maksimal membatasi ruang gerak mafia tanah. Dimulai dengan PTSL, dilanjutkan dengan perbaikan sistem ferivikasi di kelurahan.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menyerahkan 1000 sertifikat tanah dari Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kepada warga Samarinda di halaman Gor Segiri pada Senin 13 Desember 2021.
Sertifikat tanah ini adalah hasil kerja sama Pemkot Samarinda dengan Dinas Pertanahan dan Kementerian ATR/BPN. Pemberian ini juga salah satu upaya pemerintah untuk menghilangkan mafia pertanahan yang selama ini menyusahkan warga Samarinda.
Andi mengakui, dirinya menemukan mafia pertanahan mematok harga mengurus sertifikat tanah sekisar Rp 100 ribu, Rp 250 ribu, hingga Rp 300 ribu. Uangnya itupun hanya untuk keperluan oknum tersebut. Tidak ada sepeserpun uangnya masuk ke kas daerah.
“Saya juga tidak ingin tanah masyarakat menjadi lahan bagi mafia tanah. Apalagi, jika sampai mendapat intimidasi,” ucap Andi.
Dengan sertifikasi tanah ini, masyarakat bisa menggunakannya sebagai agunan jika masyarakat ingin melakukan pinjaman di bank. Asal, pinjaman tersebut digunakan untuk kebutuhan usaha. Andi mengingatkan, agar masyarakat harus tahu terlebih dahulu bank mana yang baik, dan memahami kalkulasi sistem pinjaman di bank.
“Pinjaman itu dipakai untuk usaha. Jangan untuk hal-hal yang konsumtif. Perilaku meminjam dengan konsumtif itu membuat sengsara. Jika dirasa tak sanggup membayar, jangan memaksakan untuk ambil pinjaman,” pinta Mantan Wakil Ketua DPRD Kaltim ini.
Meskipun adanya pemberian sertifikat tanah ini menguntungkan masyarakat, namun pasti ada saja mafia pertanahan yang mengambil kesempatan. Melihat pelayanan di kelurahan dalam proses sertifikasi kurang maksimal. Mencegah hal tersebut, Andi akan segera menyusun Peraturan Wali Kota (Perwali) terkait proses sertifikasi tanah ini dan akan memaksimalkan pelayanan di kelurahan.
Di kesempatan yang sama, salah satu warga yang mendapatkan sertifikat tanah gratis ini,bNur Aini, bercerita pernah menjadi korban mafia tanah. Ia sempat mengurus sertifikat tanahnya di Sungai Kapih tempo dulu dan diharuskan membayar Rp 100 ribu.
”Saya punya tanah di Sungai Kapih, jadi mengurusnya ke kelurahan sana. Dulu memang ada disuruh bayar semacam administrasi sebesar Rp 100 ribu. Kalau pungutan lain tidak ada,” terangnya.
Hal ini juga diungkapkan oleh Agus Purwanto, warga Samarinda Seberang. Ia sempat mengurus sertifikat tanah hampir setahun. Ia mengurus sertifikat ini untuk membangun rumahnya. Memang, ia telah mengantongi Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).Tetapi dirinya takut ada permasalahan hukum jika tidak mempunyai sertifikat.
“Kalau sekarang ada sertifikat ini aman saja. Kalau masih PPAT seperti kemarin kan sempat khawatir ada tumpang tindih atau bagaimana,” ujarnya.
Nur Aini dan Agus berharap agar pemberian sertifikat tanah ini terus berlangsung agar tidak ada permasalahan soal sertifikat tanah dan meminimalisir kasus korban mafia tanah. (DSH/AVA)