“Pemerintah hanya pro kepada pengusaha. Tidak melihat keuntungan perusahaan sebesar mana. Padahal pesangon tidak diberikan, gaji tidak dinaikkan. Mereka untung berlipat–lipat.”
“Mana ruginya perusahaan kalau dinaikkan upah buruh? pemerintah berkaca dari mana untuk menaikkan segitu ? dewan pengupahan itu fungsinya di mana?”
Jika berkaca dengan kehidupan layak warga Kota Samarinda, Loren menganggap buruh pantas mendapatkan upah sebesar Rp 5 juta per bulan. Kalau sebatas Rp 3 juta saja, buruh tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Malah, bisa–bisa para buruh bisa merampok karena kehabisan duit.
Beda lagi pendapat dari legislatif. Wakil Ketua DPRD Samarinda Subandi merasa angka tersebut ideal saja, mengingat kondisi saat ini yang masih diterpa pandemi COVID–19.
“Jadi tentunya sebenarnya menurut saya pribadi, di angka 3 juta untuk sekarang mungkin ya itu sudah proporsional lah. Dengan situasi yang ada,” ujar Subandi.
Subandi mengakui, jika melihat kebutuhan hidup layak warga Tepian, idealnya UMK itu sebesar Rp 3,5 juta. Tetapi, dirinya juga melihat dari sisi pengusaha. Di mana pengusaha juga mengeluh atas beratnya ongkos biaya operasional selama pandemi. Omset yang menurun, sementara beban biaya operasional menggerogoti finansial mereka.
“Saya bukan dalam rangka membela pengusaha. Tapi kita juga harus fair melihat kondisinya sekarang ini sedang di situasi pandemi,” jawabnya.
Meskipun begitu, Subandi tetap berharap UMK bisa menaik jika perekonomian telah membaik dan seluruh sektor industri berjalan normal kembali. DSH/AVA