SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Sidang kasus penggelapan pajak yang bergulir di Pengadilan Negeri Samarinda hampir mencapai babak akhir. Satu terdakwa mengaku bersalah, terdakwa lain menuntut dibebaskan. Palu hakim diketok pekan ini.
Perkara penggelapan pajak dengan modus pemalsuan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) disidang secara terpisah. Terdakwa Heri Susanto, telah membacakan pledoi akhir pekan lalu.
Dalam pembelaan yang dibacakan secara virtual, penasihat hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim menjatuhkan hukuman seringan-ringannya.
“Terdakwa sejak semula mengakui secara terus terang, bersikap jujur tanpa berbelit-belit. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika terdakwa mendapatkan keringanan hukuman,” kata Helena Maulidya Nuriman SH.
Penasihat hukum Heri Susanto ini juga menyebut, denda sebesar Rp 10 miliar yang dituntut JPU, sangat memberatkan, dan mustahil bisa dibayar oleh terdakwa.
Helena Maulidya menyebut berdasarkan fakta persidangan, penyusunan laporan SPT merupakan perintah dan permintaan saksi, Muhammad Iqbal Fauzie selaku Direktur CV Bukit Indah Sempurna (CV BIS).
“Karena adanya perintah itu, terdakwa kemudian melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) masa PPN tahun 2012 sampai dengan tahun 2015, terhadap pengkreditan 72 faktur pajak masukan atas nama 9 perusahaan,” ujarnya.
Terdakwa juga menerima perintah dan permintaan terhadap saksi Muhammad Noor selaku Direktur Utama PT Energi Manunggal Inti (EMI) dan PT Noor Rieka Jaya Mandiri (PT NRJM).
Atas perintah saksi mahkota, terdakwa melakukan Pelaporan SPT masa PPN tahun 2013 - 2015 terhadap pengkreditan 54 faktur pajak masukan, atas nama beberapa perusahaan sebagaimana yang diterangkan dalam Surat Dakwaan.
Atas pelaporan atau penyampaian SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap itu, negara telah mengalami kerugian pendapatan sebesar Rp 5 miliar.
Pada sidang tuntutan pekan lalu, JPU Rosnaini Ulfa SH dari Kejaksaan Tinggi Kaltim menuntut Heri Susanto dengan pidana 3 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp 10 miliar.
JPU menilai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dan diancam pidana UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
BUKAN DIREKTUR
Dalam persidangan terpisah, terdakwa Muhammad Noor melalui kuasa hukum menilai dakwaan kepada kliennya tidak berdasar, dan tidak sesuai dengan fakta.
Tumpak Parulian Situngkir SH, penasihat hukum terdakwa, menyebut kliennya bukanlah Direktur Utama PT Energi Manunggal Inti (EMI) dan PT Noor Rieka Jaya Mandiri (PT NRJM).
Nama Muhammad Noor tidak tercantum dalam Akta Notaris PT Energi Manunggal Inti (EMI) dan PT Noor Rieka Jaya Mandiri (PT NRJM).
"Penyerahan berkas perkara ke PN pun dari Kejaksaan menyebut terdakwa itu Dirut, padahal bukan," ucap Tumpak Parulian didampingi Maringan Situngkir, dan Saur Oloan Hamonangan Situngkir, Senin (15/11).
Ketika agenda pemeriksaan bukti, pihaknya sudah menyerahkan salinan perubahan Akta Notaris yang dibuat tahun 2013.
Tumpak Parulian mengeklaim barang bukti (BB) 54 Faktur Pajak, sampai saat ini tidak pernah diperlihatkan dalam persidangan.
"Kemarin kami menghadirkan ahli pidana, dan menyatakan dengan tegas apabila tersangka saat diperiksa penyidik, tanda tangan itu bukan tanda tangannya. Maka wajib dilakukan uji lab, sebelum P21. Akibat hukumnya, maka penetapan tersangka itu wajib dinyatakan batal," urainya.
“Kami selaku kuasa hukum terdakwa sangat menyesalkan, bahwa apa yang diuraikan oleh JPU di dalam surat tuntutannya, patut diduga memuat hal-hal yang tidak sebenarnya. Bahkan patut diduga fiktif dengan segala akibat hukumnya," tambah Tumpak Parulian.
JPU mencantumkan Surat Tuntutan Terdakwa sebagai Direktur PT EMI dan PT NRJM tanpa menunjukkan Akta Notaris sesuai dengan waktu kejadian sesuai dengan surat dakwaan dari JPU.
Padahal faktanya, imbuh Parulian, berdasarkan Akta Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham PT NRJM, dengan Nomor Akta 63 tanggal 23 Mei 2013 bahwa jelas-jelas tertulis dalam akta tersebut: Direktur Utama PT NRJM adalah Murjani, Rahmat Mardhani sebagi Direktur, serta Raden Dimas Indriyanto sebagai Komisaris.
Penasihat hukum juga membeberkan Akta Berita Acara RUPS Luar Biasa PT EMI dengan Nomor Akta 09 tanggal 26 September 2013, tertulis Komisaris PT EMI adalah Emi Ermawati, dan Abdul Wahab Syahrani sebagai Direktur.
“Jadi bagaimana mungkin seseorang yang namanya tidak tertera sama sekali di dalam Akta Notaris dapat dinyatakan sebagai direktur? Bukan kah hal demikian dapat diduga pernyataan hoaks atau bohong yang patut diduga disampaikan oleh JPU di hadapan persidangan," ujar Tumpak Parulian.
PT Energi Manunggal Inti (EMI) dan PT Noor Rieka Jaya Mandiri (PT NRJM) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang transportir Bahan Bakar Minyak (BBM), dan sembako.
Dihubungi terpisah, Kasi Penuntutan Kejati Kaltim Zaenurofiq menyebut pihaknya telah melakukan pembuktian.
Ia mengatakan, perusahaan tidak pernah melakukan transaksi dengan pihak yang mengeluarkan Faktur. JPU menyebut ada 54 Faktur Pajak yang dikeluarkan 2 perusahan. PT EMI mengeluarkan 26 Faktur Pajak, dan PT NRJM 28 Faktur Pajak. "Fakturnya ada, dia keluarkan faktur, padahal enggak pernah melakukan transaksi dengan perusahaan yang keluarkan faktur itu. Jadi itu dipakai untuk mengurangi pajak yang dipungut," ucap jaksa yang menangani kasus korupsi BUMD MGRM itu.
Mengenai perubahan Akta Notaris, dikatakan Rofiq, hasil fakta persidangan menyebut, tindakan itu dilakukan terdakwa untuk mendapatkan pinjaman di Bank. Karena laporan SPT masih atas nama terdakwa sebagai direktur utama.
"Di SPT itu tidak diubah. Harusnya kalau mengubah di Akta Notaris, maka di SPT sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus diubah juga," terangnya.
Terdakwa Muhammad Noor bersama Heri Susanto diduga dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp6,5 miliar.
JPU menuntut Muhammad Noor dengan pidana 3 tahun dikurangi masa tahanan, serta denda Rp 8,7 miliar. *AAA