Jadwal Liga 1 akhirnya dirilis. Ini artinya, percobaan 3 pertandingan perdana berjalan baik. Pemerintah setuju untuk digelar kembalinya kompetisi sepak bola profesional tahun ini. Walau hingga Selasa petang venue pertandingan belum diketahui. Klub-klub tak memberi protes. Bagi mereka, yang penting Liga 1 bisa jalan lagi. Sesederhana itu keinginan mereka.
OLEH: AHMAD AGUS ARIFIN
TAHUN ini adalah kesempatan terakhir pemerintah, PSSI, dan operator liga untuk menyelamatkan industri sepak bola Tanah Air. Dibatalkan sekali lagi, asa industri kulit bundar untuk recovery akan semakin sulit. Jangankan bangkit kembali, industri ini bahkan bisa mencapai titik kritis lalu mati.
Mengapa kata ‘industri’ disebut 3 kali dalam satu paragraf pada lead berita ini? Padahal alenia di atas hanya terdiri dari 3 kalimat saja. Pemborosan kata, kah? Tidak. Sengaja dibuat seperti itu agar tercapainya satu frekuensi. Bahwa membicarakan sepak bola masa kini. Tidak melulu soal pertandingan 11 kontra 11 pemain di lapangan hijau selama 90 menit. Atau hanya soal gengsi antardaerah semata.
Sejak tim sepak bola Indonesia tak lagi ditopang oleh APBD. Perlahan kompetisi sepak bola bukan hanya bernapaskan aspek olahraga saja. Tim sepak bola harus bertransformasi menjadi perusahaan bonafide dan berorientasi profit. Maka sejak kebijakan itu diberlakukan. Peta persaingan kompetisi domestik berubah drastis.
Di Kaltim saja misalnya. Dahulu, ada 3 klub yang eksis di Liga Indonesia. Dan bukan kaleng-kaleng, tim-tim Bumi Etam ini bermaterikan pemain-pemain mahal. Serta kadang bersaing di papan atas. Ketiga klub itu yakni Persiba Balikpapan, Persisam Putra Samarinda, dan Bontang PKT. Kemudian muncul saudara muda Mitra Kukar.
Kini, klub-klub itu tak ada yang bertahan di kasta tertinggi. Persisam Putra yang punya basis fans terbesar di Kaltim saat ini tak berbentuk. Usai dibeli sepenuhnya oleh Bali United. Bontang PKT pernah terdampar di kasta terbawah, hingga kembali bermain di Liga 3. Nasib Persiba dan Mitra Kukar lebih baik. Kedua tim sempat merasakan atmosfer kasta tertinggi pasca era APBD. Walau akhirnya terperosok ke Liga 2 akibat kekurangan finansial.
Sementara saat ini Persiba sedang dalam misi bangkit untuk kembali ke Liga 1. Di bawah kendali I Gede Widiade yang bertangan dingin. Muka Kaltim masih terselamatkan oleh hadirnya Borneo FC Samarinda. Yang dalam prosesnya, merupakan klub akuisisi juga.
Borneo FC Samarinda kini berusia 7 tahun dan semakin mantap menjadi klub yang sepenuhnya profesional. Baik dari sisi sepak bola maupun bisnis.
Ini hanya gambaran kecil saja. Bahwa klub-klub yang dulu eksis, tak banyak yang bertahan lagi. Mereka tergerus oleh era industri sepak bola modern. Di skala nasional, hanya duo clasico Persib dan Persija saja yang mampu stabil secara finansial dan mempertahankan status tim elite hingga tahun ini.
Lihat lah bahwa perjalanan tim-tim sepak bola dalam negeri mengarungi era industri ini tidak mudah. Padahal kompetisinya berjalan lancar. Sponsorship mengalir. Perokonomian Indonesia terus tumbuh. Maka bisa dibayangkan, bagaimana berat langkah kaki mereka jika kompetisi terus berhenti. Sponsor mandeg. Masih di masa pandemi COVID-19 pula.
Itu, baru berurusan dengan tim sepak bolanya saja. Faktanya, ketika berbicara soal industri, maka ada rentetan aktivitas ekonomi yang terlibat.
Di dalam kompetisi sepak bola itu, erat kaitannya dengan industri raksasa macam televisi dan transportasi. Mengingat pertandingan antarpulau mengharuskan klub menggunakan moda transportasi udara. Di kelas menengah, melibatkan industri perhotelan, percetakan (jersey dan marchendise), dan banyak lainnya. Sampai yang paling merakyat, ada penjaja makanan di sekitar stadion, hingga juru parkir.
Jangan lupakan pula dengan sektor bisnis yang tidak berpengaruh langsung namun punya keterkaitan. Yakni penyedia dan penjual jersey palsu serta perjudian. Tapi, sudah lah, tepikan dulu yang dua ini.
Kesimpulannya adalah kompetisi sepak bola sudah mencapai level hilirisasi industrial. Karena melibatkan pelaku ekonomi dari bangsa Buto Ijo hingga kurcaci. Tak ada kompetisi, berarti macet pula semuanya.
Mengingat usia profesionalitas kompetisi Tanah Air masih seumur jagung. Perputaran uang secara konkret belum dapat diketahui secara pasti. Jika di Eropa klub-klub secara terang benderang menyebut mahar transfer pemain, hingga gaji mingguan dan tahunan. Di Indonesia hal itu belum terjadi. Masih malu-malu cat. Iya, kucing.