Namun jika merujuk perkataan gitaris Kla Project, Romulo Radjadin atau yang akrab disapa Lilo. Perputaran uang di Liga 1 mencapai Rp 2,7 triliun! Besar? memang. Maka ngeri bukan, kalau industri ini sampai kritis. Bisa goyang perekonomian kita.
Lilo membocorkan informasi ini tidak dalam konteks obrolan sepak bola. Melainkan saat membicarakan soal Konser 48 Tahun God Bless. Di mana konser ini akan jadi pagelaran musik virtual pertama dan terbesar di Indonesia selama masa pandemi.
Konser ini mengambil genre showbiz (bukan televisi) agar industri permusikan yang melibatkan event organizer, penyewa lighting, sound system, media digital, dan kawan-kawannya bisa hidup kembali. Yang dikatakan Lilo, Pemerintah RI mendukung penuh konser ini karena menjadi titik balik hidupnya industri musik Indonesia. Sejujurnya, perspektif dunia musik dan industri musik ini lah yang melatarbelakangi tulisan ini.
Balik ke soal sepak bola. Dalam interview-nya di kanal YouTube komedian Soleh Solihun. Pada menit ke 15:57, Lilo mengisahkan dalam upayanya mencari sponsor ke perusahaan BUMN. Ia bertemu dengan perwakilan BRI. Hingga diberi tahu alasan bank plat merah itu menjadi sponsor utama Liga 1 musim 2021. Bukan murni untuk pengembangan bisnis, tapi karena rasa kepedulian terhadap industri sepak bola Tanah Air.
“Kaya kemarin kita ke BRI. BRI bilang ‘kita support liga bola nih, sekarang ini. Karena kalau kita gak support, itu turunan (industri) liga bola ke bawah itu. lost-nya tahun lalu Rp 2,7 triliun, Om’,” kata Lilo. Menjelaskan dampak kerugian finansial yang diakibatkan oleh pembatalan Liga 1 musim lalu.
“Kok, banyak banget? Itu, turunan industrinya?” Timpal Soleh keheranan.
“Turunan bisnisnya. Rp 2,7 triliun. Orang mati, Man,” tegas Lilo.
Sedikit lagi soal obrolan dua orang ini. Lilo menyebut, industri apa pun, di masa pandemi ini memang dalam situasi berat. Namun diam dan tak berjalan malah akan membunuh pelaku industrinya. Bukan malah menyelamatkan. Dan karenanya, di era serba sulit ini, semua pihak perlu saling mendukung. Di bidang masing-masing tentunya.
*
Lagian, kekhawatiran pemerintah untuk membatalkan kompetisi musim lalu. Hingga menunda beberapa kali kick-off kompetisi musim ini rasanya terlalu besar. Padahal di Eropa sana, penundaan hanya berlangsung ketika awal puncak kasus positif. Selebihnya mereka bisa menyelesaikan kompetisi ketika penularan masih tinggi. Karena tahu caranya.
Bahkan per musim ini, kompetisi di Eropa sudah membuka stadion lagi untuk suporter. Tanpa kewajiban kartu vaksin dan masker pula. Kalau Eropa terlalu jauh levelnya untuk disandingkan. Malaysia, tetangga kita. Bisa, kok, menggelar liga musim lalu.
Bahwa selain kompetisi sepak bola tetap bisa berjalan berdampingan dengan pandemi. Di mana hal ini dibuktikan dengan selesainya turnamen pra musim Piala Menpora 2021 yang tanpa catatan. Alias tidak ada kasus terpapar di kalangan pemain, ofisial klub, dan perangkat pertandingan. Pandemi memang seharusnya tidak melulu dijadikan alasan.
Lalu begini, sejak musim 2019. Geliat profesionalitas klub-klub Indonesia itu sudah mulai terasa. Pionernya adalah Bali United. Dari yang paling sederhana saja. Sebelumnya, klub Indonesia hanya mengontrak pemain dalam rentang 1 tahun saja.
Sehingga tak ada transfer pemain, pun praktik peminjaman pemain juga minim. Belakangan, selain Bali United. Borneo FC Samarinda sudah memberlakukan kontrak jangka panjang. Paling tidak dua tahun. Ini adalah sebuah kemajuan yang harus didukung.
Ada pula soal gaya klub-klub Indonesia yang mulai berselera tinggi dalam hal pengenalan pemain dan sponsor. Dulu, perkenalan pemain cukup mengenakan kaus oblong saja. Saat ini, sudah mengenakan jas. Output-nya pun diberi sentuhan modernisasi. Agar kemasan ini menarik perusahaan non olahraga untuk mau menjadi sponsor. Mengingat peluang keterlihatannya oleh publik semakin tinggi. Lagi-lagi ini adalah sesuatu yang harus didukung.
Pada aspek lainnya, panitia pelaksana (panpel) setiap klub kini sudah mulai pandai memanaj keuangan. Pendapatan dari tiket pertandingan, mulai diputar untuk memugarkan stadion. Dari kursi penonton, penerangan lorong, sampai toilet dan musala. Kepekaan semacam ini belum terjadi sebelumnya karena merasa stadion itu milik pemerintah. Mereka hanya pinjam pakai saja. Urusan perawatan, sepenuhnya milik pemerintah daerah.