PLTS Transisi Menuju Nuklir
Selasa 30-03-2021,11:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal
Abdurachman Chered yakin jika muara dari program EBT itu adalah Nuklir. Tapi sebelum ke situ, pembangit listrik tenaga surya (PLTS) bisa mulai dikembangkan.
nomorsatukaltim.com - Rachman—sapaan Abdurachman, sudah lama menekuni bidang kelistrikan. Sebetulnya dia adalah sarjana teknik. Lulusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah, Jakarta. SLTA-nya juga jurusan mesin. Lulusan STM Dwi Cakti Bhakti, Bandung, Jawa Barat. Namun sejak lulus kuliah itu, ia lama berkiprah di dunia kelistrikan.
Pada 1987, Rachman sudah menjadi Supervisor Power Plant PT Kalimanis Group. Sampai tahun 2001. Jabatan terakhirnya sebagai Manajer Litbang. Setelah itu, Rachman yang asli kelahiran Balikpapan itu, bergabung dengan Perusda Ketenagalistrikan Provinsi Kalimantan Timur.
Sempat menjadi Direktur Operasional perusahaan daerah itu hingga 2012. Kemudian naik lagi menjadi Direktur Utama sampai 2020. Kini ia pensiun. Tapi tidak berhenti beraktivitas.
“Saya mau seperti Mahathir Mohamad,” kelakarnya. Perdana Menteri Malaysia ke-4 dan ke-7 itu tetap produktif kendati usianya sudah 90 tahun lebih.
Nah, ketika ngobrol di Program Podcast Goodtime Disway Kaltim, pekan lalu, ia meyakini bahwa energi baru terbarukan (EBT) itu muaranya ya energi nuklir. Karena menurut dia, itulah energi yang dianggap paling ramah lingkungan.
Kok bisa? Bukannya teknologi nuklir saat ini belum bisa diterima oleh masyarakat? Jangankan menerima, baru mendengar isu akan dibangun pembangkit nuklir saja, sudah ramai-ramai menolak. Takut duluan.
Itu saat ini. Ke depan, dengan penemuan teknologi listrik baru dan pemahaman masyarakat yang semakin meningkat, katanya, bukan tidak mungkin energi nuklir akan diterima.
“Program PLTS ini nanti menjadi transisi menuju nuklir”.
Menurutnya, EBT memiliki problem keberlanjutan dan kapasitas produksi energi listrik yang terbatas. Misalnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Teknologi ini hanya bisa dimanfaatkan di tempat-tempat tertentu saja. Saat ini, pembangkit listrik tenaga mikrohidro saja yang banyak digunakan di Pulau Jawa, sudah banyak yang tidak beroperasi.
Energi yang dihasilkan pembangkit mikrohidro berkapasitas kecil. Menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya, seperti saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan dan jumlah debit air.
“Kalau air yang harus dijaga itukan di hulu. Sementara turbin biasanya di hilir. Seperti pembangkit yang di Krayan (Kalimantan Utara, Red.), hulunya itu di Malinau dan hilirnya di Bulungan. Kita harus menjaga air itu dari hulu hingga hilir. Nah, sekarang siapa yang bisa menjamin lingkungan di hulu itu tidak terganggu,” terangnya.
Sementara PLTS punya kelebihan bisa menyebar. Tapi kelemahannya tidak bisa memproduksi energi listrik dalam jumlah yang besar. Karena itulah, Rachman menilai energi nuklir memungkinkan sebagai energi masa depan.
Menurutnya, PLN juga punya arah ke sana. Secara berkala akan memutus pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara yang sudah selesai kontrak selama 25 tahun. Itu dilakukan secara bertahap.
Jika melihat rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN tahun 2019-2028, target bauran EBT sebesar 23 persen, batu bara sebesar 54,6 persen, gas bumi 22 persen dan bahan bakar minyak 0,4 persen.
Pada Podcast Goodtime, hadir juga Azmir Abu. Saat ini menjabat PLT Dirut Ketenagalistrikan Kaltim. Abu lah pengganti Rachman yang pensiun itu. Sambil menunggu hasil seleksi Dirut Ketenagalistrikan yang baru. Abu sendiri tidak ikut seleksi itu. Mengingat usianya yang sudah 63 tahun. “Gagal karena usia,” katanya.
Sebetulnya Abu sudah pensiun dari ASN sejak 2016. Jabatan terakhirnya sebagai Biro Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim. Namun, setelah itu ia diminta untuk membantu Perusda Ketenagalistrikan sebagi Direktur Umum dan SDM. Karenanya, ia tidak bisa mengikuti seleksi Dirut.
Menurut Abu, kini Perusda Kelistrikan sudah mulai menjalankan bisnis EBT. Yakni, PLTS Rooftop. Atau bisa disebut PLTS Atap. Sesuai namanya, panel listriknya ditempatkan di atas atap. Panel itu yang menyerap sinar matahari dan diolah menjadi energi listrik.
Untuk program ini, BUMD Ketenagalistrikan bekerja sama dengan PT Surya Utama Nuansa (SUN). PT SUN ini yang berinvestasi panel surya. Kemudian panel itu “disewakan” dengan kontrak selama 15 tahun. Dikelola oleh Perusda Ketenagalistrikan sebagai operator. Targetnya kantor pemerintahan. Kini sudah lima SKPD di lingkup Provinsi Kaltim yang sudah memasang panel surya. Dan sudah beroperasi dengan total daya 236,5 KWp.
Kilowatt peak (KWp) hitungan yang dipakai untuk mengukur energi yang dihasilkan panel surya. Biasanya pada kondisi tertentu. Tentunya di siang hari. Menurut Abu, kalau di Kaltim waktu puncak tertinggi pada jam 10.00 – 12.00 siang.
Program panel surya ini sebenarnya sudah menjadi program nasional. Bedanya di Kaltim yang dikelola oleh Perusda Kelistrikan itu, SKPD tidak perlu membeli panel surya. Tidak perlu dianggarkan pula. Karena harganya juga relatif mahal. Menurut keterangan Abu dan Rachman, angkanya mencapai Rp 14 miliar. Dulu lebih mahal dari itu.
Yang Rp 14 miliar itu solar panel tanpa baterai. Tidak dapat menyimpan energi listrik. Artinya, jika cahaya matahari redup atau mati, ya listriknya juga mati. Berarti pula tidak bisa digunakan pada malam hari. Makanya yang menjadi target Abu adalah perkantoran. Utamanya pemerintah. Bayangkan saja jika seluruh perkantoran pemerintah hingga kabupaten/kota menggunakan itu.
Nah, harga baterai panel surya cukup tinggi. Kurang lebih dengan harga panelnya. Biasanya solar panel yang menggunakan baterai sering digunakan di wilayah perbatasan yang sifatnya isolated. Karena tidak ada akses PLN. Jadi, solar panel itu menyerap energi di siang hari untuk digunakan pada malam harinya. Tapi umur baterai pendek. Sekitar 5 tahunan.
Keuntungan panel surya ini, kata Rachman, pertama soal visi lingkungan. Tapi tetap ada benefitnya. Ia menghitung dapat BEP pada tahun ke-8. Tujuh tahun pertama akan menutup modal awal.
“Sementara umur pakai solar panel itu 25 tahun, garansinya. Pemakaiannya bisa lebih dari itu,” terangnya.
Kedua, kata dia, harga listrik PLN bisa naik sewaktu-waktu. Jika memakai solar panel ini, tidak perlu harus khawatir akan angka kenaikan listrik tersebut. “Sekarang ini kan ditahan saja, (kenaikan harga, Red.),” katanya.
Bagi Perusda Listrik Kaltim, program yang bermitra dengan PT SUN sebagai investor tersebut juga tidak berisiko tinggi. Perusda tidak perlu mengeluarkan dana investasi membeli panel surya yang harganya miliaran itu. Karena itu, Gubernur Kaltim Isran Noor setuju dan langsung membuat surat edaran buat SKPD.
Bagi yang sudah memasang panel surya, nantinya akan dibuatkan dua meteran listrik. Pertama milik PLN, dan kedua milik Perusda Ketenagalistrikan. Sama seperti PLN, setiap bulan akan ada tagihan pemakaian. Namun, Abu menjamin jika diakumulasi, total tagihan SKPD yang memasang panel surya itu akan berkurang secara berkala. (dah/zul)
Tags :
Kategori :