Pada situasi begitu, Jumardin menunggu tongkang bermuatan yang berpacu dengan rpm tinggi, kecepatan 5.0 Kn dari arah hulu melintasinya. Sebab Lisa 53 hanya bergerak pelan. Bisa satu jam untuk melewati satu tikungan. Yang tidak mungkin tongkang dari hulu setop untuk menunggu.
Hal inilah yang membuat mereka dan tongkang dari lawan arah kadang bertengkar melalui radio, kata Jumardin. Berebut kesempatan untuk melewati tikungan dan alur sungai yang sempit.
Alur sungai yang berkelok juga tantangan tersendiri. Apalagi ketika air sedang surut. Setiap kelokan memiliki pusaran air yang bisa membuat tongkang terombang-ambing dan akhirnya tidak terkendali.
"Kadang 1-2 jam kami bertahan di situ (tikungan) pak. Jadi kapal maju itu, kayak kura-kura jalannya. Satu saja yang saya minta ketika berdoa. Jangan sampai mesin mati. Kalau sudah mati, selesai cerita," ungkapnya.
Satu lagi yang diingat Jumardin dalam cerita pertama kali berlayar dari hilir ke hulu membawa 5.400 ton batu bara. Kejadian di mana tugboat berlipat arah. Tak kuasa melawan dorongan arus dan pusaran air di tikungan.
"Di situ saya bawa itu pak, tidak kulihat lagi tongkang di belakang. Lihat ke depan saja terus," sambungnya.
Tetapi, Jumardin bersama Lisa 53 akhirnya berhasil menyelesaikan satu pelayaran dari Kutai Lama ke Tanjung Batu. Pelayaran dilalui sepanjang dua hari dua malam. Dengan jarak yang tidak begitu jauh. Namun, ia menyadari risikonya terlalu besar untuk diulangi. (bersambung/yos)