Mengikuti Pelayaran Tongkang Batu Bara (6): Perjalanan Pulang dan Kisah Melawan Arus

Selasa 02-03-2021,21:04 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

Waktu itu akhir tahun 2017. Ketika pertama kali Lisa 53 ditunjuk untuk tugas maha berat. Mengambil batu bara di Kutai Lama. Untuk disuplai ke PLTU Embalut. Oleh perusahaan pemilik kapal. Jumardin dan para awak Lisa 53 tidak begitu yakin bisa melakukannya.

"Karena kan biasanya, orang menarik tongkang naik ke atas (hulu mahakam), dalam keadaan tanpa muatan, kosong". Tapi ia diperintah sebaliknya.

"Jarang-jarang ada tongkang berisi muatan ke hulu waktu itu. Kecuali tongkang pengangkut batu koral. Itu pun sampai jembatan mahakam aja," kata Jumardin.

Apalagi dengan muatan 5.400 ton. Sebab kalau pun ada, biasanya menarik tongkang yang melawan arus mahakam kala itu, hanya yang berukuran kecil. Mentok muatan 3.000 ton. Itu pun dibantu kapal assist.

"Sementara kami ini tidak ada kapal assist-nya pak. Hanya andalkan nyali dan keberanian," katanya.

Sebenarnya Jumardin sempat berusaha menolak perintah perusahaan pemilik kapal saat itu. Namun ia tidak kuasa. Ia berpikir bahwa ia hanya bekerja di kapal itu. Ia harus mengikuti apa yang diperintahkan. Kendati nyawa dan kariernya sebagai pelaut diperjudikan.

Apalagi, pemilik kapal terus merayu Jumardin, sebab katanya, tidak ada kapal lain lagi yang bersedia. Ia juga berpikir tentang kepercayaan yang diberikan pemilik kapal.

"Bilang orang kantor (perusahaan), bisa itu capt, dicoba saja dulu. Enak kok muat di hilir itu. Bisa disambil jalan-jalan ke Samarinda sambil menunggu muatan. Kan dekat saja," ucapnya menirukan rekan kerjanya.

Ia mencoba memahami, rekannya tak mengetahui risiko menarik tongkang melawan arus. Selain itu, ada empat jembatan yang harus dikolongi. Ia paling khawatir dengan empat jembatan itu.

Sebab saat itu, sudah banyak kejadian tongkang pengangkut batu bata menabrak penyangga jembatan yang memalangi Sungai Mahakam ini.

Pelayaran pertama dimulai pada Desember 2017. Ia mulai mengingat. Dalam kegugupan dan bayangan tentang segala bahaya dalam pelayarannya, Jumardin dan awak kapal yang lain mulai mempelajari tugas yang mengancam keselamatannya.

Mereka berpikir bahwa situasi pasang surut air laut di wilayah operasinya bisa membantu. Yang akhirnya benar-benar, setiap pelayaran melawan arus, mereka mengandalkan air pasang. Untuk membantu mengurangi dorongan arus dari hulu yang bertemu arus pasang dari hilir.

"Jadi kalau sudah air pasang, kami hajar (genjot) rpm. Kalau surut, baru kita turunkan lagi rpm, maju pelan-pelan."

Kapten memacu tugboat ketika air sedang pasang, maka pergerakan kapal maju berkisar 1.0 Kn. Namun ketika air surut dan arus deras, tongkang bermuatan hanya ditarik dengan kekuatan rpm rendah. Pergerakan tugboat berkisar 0.5 Kn. Kn adalah ukuran kecepatan kapal bergerak maju yang ditampilkan radar digital di meja kemudi.

"Kalau di alur-alur sempit atau tikungan, pas arus kencang, jangan lewat situ. Bahaya itu." ujarnya.

"Kan banyak tikungan naik ke hulu itu pak. Jadi bagaimana caranya belok di tikungan. Padahal  banyak kapal turun. Kami cari selanya. Dengan cara, cari informasi di mana posisi setiap kapal yang turun."

Tags :
Kategori :

Terkait