Bontang, Nomorsatukaltim.com – Tahun depan, Pemkot Bontang bertekad keras untuk mengurangi titik banjir yang selama ini rutin tergenang banjir ketika hujan deras. Komitmen itu diawali dengan menyediakan anggaran yang akan difokuskan ke penanggulangan banjir.
Akhir tahun 2020 ditutup dengan musim penghujan. Mungkin karena hampir sepanjang tahun duka tak berkesudahan akibat COVID-19 itu. Tapi hujan di Bontang tak seberapa. Yang harus waspada jika hujan tak berkesudahan di hulu Bontang. Imbasnya bisa fatal.
Banjir besar seperti di penghujung 2019 lalu. Imbasnya melebar kemana-mana. Bukan hanya rumah-rumah warga. Elektabilitas kandidat petahana juga ikut 'terendam' air.
Basri Rase dan Najirah, sebagai wali kota dan wakil wali kota terpilih punya PR besar soal banjir ini. Sejak 2008 banjir tak selalu ramah dengan kepala daerah. Kian hari makin tinggi keparahannya.
Mula-mula hanya 3 titik yang kebanjiran. Di Kelurahan Kanaan, Api-Api dan Gunung Elai. Sekarang bertambah besar dan luas.
Kelurahan Satimpo, Telihan, Guntung Tanjung Laut Indah hingga ke Bontang Kuala. Jumlah rumah terdampak, jangan ditanya. Makin banyak pula yang 'menikmati' air setinggi lutut di dalam ruang tamu mereka.
Kajian soal banjir ini sudah banyak. Hanya saja memang belum ada kajian induknya. Yang membuat mantan Ketua Pansus Banjir itu mencak-mencak. Sebab, hampir 2 tahun pansus banjir dibubarkan belum ada juga kajian induknya.
"Pemerintah ini tampaknya tidak serius. Dokumen induk penanggulangan banjir saja sampai sekarang tidak ada," ujar mantan Ketua Pansus Banjir, Bakhtiar Wakkang kepada wartawan belum lama ini.
Jika serius pemerintah memang harus menyusun kajian induk. Supaya penanggulangan banjir bisa sistematis dan terukur. Tidak seperti sekarang. Ditangani secara parsial dan instan.
"Kalau sekarang mungkin tidak ada banjir besar setelah sungai dikeruk atau ditinggikan tanggul. Tapi itu bisa bertahan berapa lama? Kalau penanganannya seperti itu," ungkapnya.
Terpisah, Basri Rase mengaku akan berkomitmen untuk mengentaskan masalah banjir. Ia bakal membelanjakan anggaran jor-joran untuk mengurusi banjir.
Jumlahnya tak main-main. 10 persen dari APBD. Jika APBD 2021 diteken Rp 1,2 triliun maka sekitar Rp 120 miliar digunakan khusus untuk pengendalian banjir.
Jumlah duit sebanyak itu seharusnya cukup membangun kolam-kolam polder di titik rawan banjir. Serta selebihnya bisa melanjutkan sungai-sungai yang belum diturap.
Tapi lagi-lagi itu bukan persoalan instan. Ada sekelumit masalah lain. Tanahnya belum dibebaskan.
Pembebasan lahan itu sedari awal selalu buat masalah. Pun ada kasus korupsi yang menyeret pegawai akibat pembebasan tanah.
Basri - Najirah harus belajar dari kasus-kasus pembebasan lahan. Jika perlu menggandeng kejaksaan supaya tidak bermasalah di lain waktu. (wal/ava)