Sejarah kolonisasi di Timor Timur bisa ditarik sejak abad ke-15 Masehi. Kala itu, orang-orang Portugis (Portugal) kerap singgah untuk berdagang. Namun tak lama berselang, bangsa asing dari Eropa itu justru berhasil menduduki pulau seluas 30.777 kilometer persegi itu.
Memasuki pertengahan abad ke-17, gangguan datang dari Belanda yang juga ingin menguasai Timor Timur. Setelah terjadi beberapa kali bentrokan, Portugis terpaksa menjalin perjanjian dan menyerahkan sisi barat pulau Timor kepada Belanda.
Oleh karena itulah, wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal. Berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kemenangan Jepang atas Belanda pada 1942 mengubah situasi di Timor. Selain mengambil-alih wilayah Hindia Belanda, pasukan militer Dai Nippon juga merebut Timor Timur. Namun, setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Portugal kembali menduduki kawasan itu.
Pada 1974, perubahan di Timor Timur mulai muncul. Seiring bergolaknya politik di Portugal. Ronald H. Chilcote dalam Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme (1999) menyebutkan, pada 25 April 1974 terjadi kudeta tak berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Anyelir. Revolusi Anyelir yang dimotori Movimento das Forças Armadas (MFA) atau Pergerakan Tentara Darat berhasil menumbangkan kekuasaan Perdana Menteri Portugal, Marcello Caetano.
Selain itu, pergolakan ini juga berakibat pada penarikan militer Portugis dari beberapa wilayah jajahannya. Termasuk Angola, Cape Verde, Mozambik, serta Guinea Portugis di Afrika, hingga Timor Timur di Nusantara.
Setelah Revolusi Anyelir di Portugal, Timor Timur terbelah menjadi 3 faksi: Partai Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti).
UDT menginginkan Timor Timur tetap menjadi koloni Portugal. Fretilin menghendaki kemerdekaan. Sedangkan Apodeti ingin agar Timor Timur bergabung dengan Indonesia.
Namun, popularitas Apodeti kalah dari UDT maupun Fretilin. Persaingan sengit berlangsung antara UDT dan Fretilin untuk memperebutkan simpati masyarakat Timor Timur. UDT menuduh Fretilin akan membawa Timor Timur menjadi negara komunis. Perseteruan ini berujung pada konflik berdarah dan banyak warga Timor Timur yang mengungsi ke wilayah perbatasan dengan Indonesia.
Di Indonesia, pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto sebagai Presiden RI merasa khawatir jika Timor Timur menjadi komunis dan menyebarkan paham tersebut sampai ke Indonesia. Soeharto kemudian menjalin komunikasi dengan Presiden AS kala itu, Gerald Rudolph Ford Jr., terkait hal tersebut.
Pada 6 Desember 1975, Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, diterima Soeharto di Jakarta. Sehari setelah pertemuan itu dilancarkan invasi militer ke Timor Timur yang dikenal sebagai Operasi Seroja. Kala itu, sedang berlangsung perang dingin antara kubu liberal yang digawangi oleh AS melawan kubu komunis dengan Uni Soviet sebagai motornya.
Setelah mendengar situasi terkini di Timor Timur, pemerintah AS tentu saja tidak ingin Indonesia menjadi negara komunis. Kelak, dokumen transkrip pertemuan antara Soeharto dengan Ford dan Kissinger itu dipublikasikan tanpa sensor pada 7 Desember 2001. Di situ terungkap bahwa pemerintah AS secara sengaja membiarkan invasi militer Indonesia ke Timor Timur.
Selain itu, dikutip dari Washington Post, terkuak juga bahwa AS menyuplai 90 persen senjata untuk militer Indonesia. Dalam upaya invasi tersebut. Kissinger sempat mengemukakan dalihnya. Termasuk menyebut apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur bukanlah invasi atau operasi militer. Melainkan suatu bentuk pertahanan diri.
Sebelum Operasi Seroja, pemerintah RI sudah melancarkan operasi intelijen dengan nama sandi Operasi Komodo pada 1974 untuk mencari info-info terkait politik di Timor Timur yang berpusat di Dili.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite histoire” Indonesia Volume 1 (2004) menuliskan, Operasi Komodo dipimpin oleh Ali Moertopo dan bertujuan memasukkan Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Hasil penyelidikan ini terungkap bahwa Fretilin yang berpaham komunis menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh sebagian besar rakyat Timor Timur.
Itulah yang menjadi alasan pemerintah RI dan AS melancarkan Operasi Seroja pada 7 Desember 1975. Terlebih, 28 November 1975, Fretilin menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste. Kekuatan Fretilin ternyata tak sebanding dengan angkatan perang RI yang disebut-sebut mendapat bantuan dari AS.