Bankaltimtara

PN Samarinda Tegaskan Mekanisme Restitusi: Bayar, Sita, atau Kurungan

PN Samarinda Tegaskan Mekanisme Restitusi: Bayar, Sita, atau Kurungan

Juru Bicara PN Samarinda, Jemmy Tanjung Utama-Mayang Sari/ Nomorsatukaltim-

BACA JUGA: Perdana di Kaltim, PN Samarinda Terima Permohonan Restitusi, Korban Pidana Boleh Menuntut Ganti Rugi

Meski sebagian dikabulkan, ada dua poin penting yang ditolak hakim. Pertama, permintaan agar apabila terdakwa tidak mampu membayar maka ganti rugi dapat dibebankan kepada negara melalui lembaga yang ditunjuk.

Kedua, permintaan agar putusan restitusi dapat dijalankan segera meskipun masih ada upaya hukum. "Permintaan dari pemohon agar apabila terpidana tidak mampu membayar, maka ganti kerugian dapat dibebankan kepada lembaga yang ditunjuk oleh negara sebagaimana Pasal 67 dan 71 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat dikabulkan. Hakim menilai pasal tersebut tidak relevan dengan substansi permohonan," jelas Jemmy.

Menurut majelis hakim, mekanisme pembebanan ganti rugi kepada negara hanya berlaku untuk kasus tertentu, misalnya tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, perdagangan orang, atau kejahatan seksual terhadap anak. Untuk kasus penganiayaan umum, mekanisme itu tidak bisa diterapkan.

Sementara itu, penolakan atas permintaan putusan serta merta didasarkan pada pertimbangan bahwa permohonan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Skema 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta.

BACA JUGA: Sidang Restitusi Kali Pertama Digelar PN Samarinda, Sidangkan Tuntutan Istri Korban Pembunuhan

Tren Restitusi di Indonesia

Putusan PN Samarinda ini menambah catatan penting praktik restitusi di Indonesia. Mekanisme restitusi sebenarnya sudah semakin sering digunakan sebagai bentuk perlindungan hak korban, tidak hanya untuk kasus perdagangan orang atau kekerasan seksual, tetapi juga dalam perkara pidana umum.

Berdasarkan kajian terhadap 41 putusan pada 2023, tingkat pengabulan permohonan restitusi cukup tinggi, yaitu 95 persen dikabulkan majelis hakim, sementara hanya 5 persen yang ditolak.

Namun, persoalan utama terletak pada tahap eksekusi. Laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2020 mencatat, dari nilai restitusi yang diajukan korban sebesar Rp7,9 miliar, hakim hanya memutus sekitar Rp1,34 miliar.

Dari jumlah itu, yang benar-benar dibayarkan pelaku hanya Rp101 juta atau sekitar 2,7 persen dari putusan.

BACA JUGA: Istana Tegaskan Prabowo Tak Akan Bela Immanuel Ebenezer yang Terjerat Kasus Korupsi

Beberapa contoh kasus juga menunjukkan kendala serupa. Dua korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Jawa Barat misalnya, hanya menerima restitusi senilai Rp63,6 juta dari PN Cikarang, jauh lebih kecil dibandingkan tuntutan awal.

Dalam kasus besar Tragedi Kanjuruhan, PN Surabaya pada akhir 2024 memutus restitusi sebesar Rp1,02 miliar untuk 71 korban, meski tuntutan awal mencapai Rp17,2 miliar. Angka itu menunjukkan kesenjangan antara nilai permohonan, putusan, dan realisasi eksekusi.

Menurut data Mahkamah Agung RI, sepanjang 2024 terdapat 425 putusan restitusi dengan beragam jenis kasus, meliputi:

  • Keimigrasian: 16 kasus
  • Kejahatan terhadap kesusilaan: 16 kasus
  • Lingkungan hidup: 3 kasus

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: