Bankaltimtara

Orangtua Murid Diintimidasi karena Pertanyakan Penjualan LKS

Orangtua Murid Diintimidasi karena Pertanyakan Penjualan LKS

Santi (32) bersama Tim Reaksi Cepat PPA Kaltim, Rina Zainun, menceritakan pengalamannya usai mempertanyakan pembelian LKS yang disebut tak wajib namun terasa mengikat.-Mayang Sari-nomorsatukaltim.disway.id

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Santi (32), wali murid di sebuah sekolah negeri kawasan Sungai Pinang, Samarinda, mengaku mendapat perlakuan tak menyenangkan setelah mempertanyakan praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS).

Ia merasa mendapat intimidasi dari para guru, meski pihak sekolah sebelumnya menegaskan pembelian LKS tidak bersifat wajib.

“Awalnya saya lihat ada postingan di grup peguyuban orangtua sejak awal September. Katanya tidak diwajibkan membeli, tapi diarahkan belinya ke rumah salah satu guru, lengkap dengan share lock-nya,” kata Santi kepada wartawan, Jumat, 26 September 2025, malam.

Buku yang dijual bukan bagian dari paket resmi Pemkot, melainkan terbitan swasta. Santi sempat menanyakan hal itu di grup orangtua murid, namun tak mendapat jawaban. Ia lalu mencoba menghubungi wali kelas secara pribadi, juga tanpa respons.

BACA JUGA: Pemkot Samarinda Cetak LKS Sendiri untuk Dibagi Gratis, Hemat Rp66 M dan Libatkan Guru Lokal

Karena penasaran, ia mendatangi sekolah meski sedang libur. Di sana, Santi bertemu wali kelas dan berbicara langsung dengan kepala sekolah lewat telepon. Penjelasan yang diterima membuatnya kian bingung.

“Dijelaskan memang tidak wajib. Tapi katanya LKS ini untuk menunjang nilai. Kepala sekolah bilang, nilai anak saya ibarat gelas, mau setengah atau penuh sampai bibir? Ya jelas kalau begitu sifatnya jadi wajib,” ucapnya.

Setidaknya tujuh LKS ditawarkan dengan harga Rp20 ribu per buku, total Rp140 ribu. Menurut Santi, bukan soal uang, melainkan janji Wali Kota Samarinda Andi Harun bahwa kebutuhan pendidikan di sekolah negeri ditanggung pemerintah. “Kalau pun beli, saya minta uang Rp140 ribu itu diganti Pak Andi,” ujarnya.

Namun, pertanyaan itu justru berbuntut panjang. Santi mengaku mendapat tekanan dari sekitar sepuluh guru, termasuk wali kelas. “Saya dianggap wali murid yang tidak bisa diatur. Bahkan ada ancaman anak saya dikeluarkan dari sekolah,” katanya.

BACA JUGA: Kurikulum Merdeka Tidak Lagi Gunakan LKS di Sekolah

Ancaman itu membuat Santi resah. Ia khawatir tekanan terhadap dirinya berimbas pada anaknya. “Saya takut nanti anak saya diperlakukan berbeda, dibully, atau mentalnya kena. Karena yang saya hadapi bukan satu dua guru, tapi banyak, plus kepala sekolah via telepon,” ujarnya.

Kasus ini sudah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kota Samarinda. Kepala Disdikbud, Asli Nuryadin, sebelumnya menegaskan bahwa sejak Juli lalu sekolah negeri dilarang mewajibkan siswa membeli buku, termasuk LKS—yang kini berganti nama menjadi LKPD.

Pemkot, kata dia, akan mencetak dan mendistribusikan LKPD secara gratis berdasarkan data dapodik.

Tim Reaksi Cepat PPA Kaltim juga turun tangan mengawal kasus ini. “Kami menyayangkan ada intimidasi terhadap orangtua murid,” kata Rina Zainun dari TRC PPA.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: