Pilih MTB Atau Seli?

Pilih MTB Atau Seli?

“Ingat Brompton ingat Garuda” kata seorang teman merujuk heboh kasus penyelundupan sepeda lipat premium asal Inggris itu, akhir tahun lalu. Meski bagi kalangan tertentu, merek ini sudah lama dikenal. Terutama bagi mereka yang hobi mengayuh pedal.

Brompton sendiri semakin dikenal masyarakat Indonesia seiring hadirnya komunitas Bike to Work di Jakarta. Para anggota komunitas ini bisa menenteng sepeda lipat (seli) mereka dalam komuter. Lebih praktis. Namun saat ini, penggunaan seli semakin meluas. Tidak sekadar alat transportasi ke kantor.

Salah satu pengguna Brompton, Teguh Kuncoro misalnya, memanfaatkan seli sebagai sarana menjaga kebugaran. Intensitasnya meningkat saat wabah melanda. “Supaya keep social distancing, saya biasanya solo ride pagi hari, saat jalan masih sepi,” kata salah satu manager perusahaan telekomunikasi ternama itu.

Ia mengaku bersepeda maksimal bertiga dengan tetap menjaga jarak. “Sebelum jam 08.00 sudah sampai rumah. Jadi langsung work frome home.” Kuncoro menampik tren bersepeda ramai hanya saat wabah. “Kalau Brompton sudah lama. Bahkan ada banyak event yang malah di-cancel karena alas an protokol kesehatan,” ujarnya.

Bagi anggota komunitas Brompton, setiap tahun mereka punya acara BDO atau Brompton Days Out. Yang mana semua pengguna Brompton berkumpul. Namun tahun ini ditiadakan.

Pria yang akrab dipanggil Mas Kun ini memilih Brommy karena suka dengan mobilitasnya yang tinggi. “Selain itu, pakai sepeda ini praktis, dilipat dan jadi sangat kecil, sehingga bisa di bawa kemana-mana,” kata pemilik dua unit Brompton CHPT 3 ini. 

Mas Kun menambahkan, “Kalau hobby lari, paling lari 5-10 kilo saat ke luar kota. Nah dengan sepeda, sebelum meeting pagi, biasa 1 jam sudah bisa 30-50 kilo.”

Dengan bersepeda pula, katanya, bisa mengenal dan mensyukuri nikmat pagi di kota-kota tujuan perjalanan. Ditambah komunitasnya juga banyak, “sehingga janjian dan nambah kenalan. Ujung-ujungnya memang foto-foto ikon kota.”

Joko Purwanto lain lagi. Pria yang sudah mengayuh sejak 2010 itu melihat tren sepeda lipat hanya euforia sesaat. “Sekarang ini kalau saya melihat di Balikpapan orang lagi euforia sepeda lipat. Bahkan di Jakarta beli pakai kartu. Kalau di sini harus inden dulu,” kata  pengguna MTB alias sepeda gunung ini.

Di Jawa, menurut Joko Purwanto, popularitas sepeda gunung masih kuat. “Di sana, sepeda gunung yang susah dicari,” klaim pengusaha perjalanan wisata ini. Menurutnya, sejak wabah corona kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan bertambah, dan sepeda menjadi sarana yang aman dan nyaman. 

Pemilik Trans Borneo Wisata ini mengaku bersepada dua kali seminggu. Ia menempuh rute off road maupun on road, sehingga bisa leluasa menjelajah.   “Dulu sempat bergabung dengan komunitas sepeda, sehingga pernah gowes sampai Thailand dan Singapura. Sekarang ikut gowes opa-oma saja. Hahaha..” kata pengguna merek Proton itu.

Menurut pengurus ASITA Kalimantan ini, bersepeda tak hanya menambah bugar, namun juga sarana menjaring partner bisnis. Saat kondisi kembali normal, Joko Purwanto ingin menggelar event gowes wisata. (fey)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: