Mengurai Solusi di Balik Polemik Tarif Jalan Tol Balsam

Mengurai Solusi di Balik Polemik Tarif Jalan Tol Balsam

OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*

Tarif Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor: 534/KPTS/M/2020 tentang Penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor dan Besaran Tarif Tol Pada Jalan Tol Balikpapan-Samarinda Seksi 2, 3, dan 4 atau Samboja-Simpang Jembatan Mahkota 2 (Kepmen PUPR Nomor 534 Tahun 2020).

Tarifnya pun bervariasi. Sebagaimana disebutkan dalam bagian lampiran Kepmen tersebut. Tarif paling murah sebesar Rp 75.500 dari Samboja ke Simpang Pasir dan sebaliknya, serta Rp 83.500 dari Samboja ke Simpang Jembatan Mahkota 2 dan sebaliknya. Tarif termurah tersebut berlaku untuk kendaraan Golongan I yang mencakup sedan, jip, pikap/truk kecil, dan bus. Sedangkan tarif termahal berlaku untuk kendaraan Golongan V: truk dengan 5 gandar atau lebih. Besaran tarifnya dipatok Rp 151.000 dari Samboja ke Simpang Pasir dan sebaliknya, serta Rp 167.500 dari Samboja ke Simpang Jembatan Mahkota 2 dan sebaliknya.

Tarif Tol Balsam ini pun resmi berlaku pada 14 Juni 2020 atau 14 hari kalender setelah Kepmen PUPR Nomor 534 Tahun 2020 diterbitkan. Namun sejak tarif tol ini resmi berlaku, sopir travel maupun pengusaha travel lebih memilih menggunakan jalur lama dibanding jalan tol yang disebut mahal. Jika dirata-ratakan, besaran tarif tol yang diberlakuakn sebesar Rp 1.200 per kilometer. Tarif ini dinilai terlalu mahal jika dibandingkan dengan tarif Tol Trans Jawa untuk kendaraan Golongan 1, yang rata-rata di bawah Rp 1.000. Namun tarif Tol Balsam bukanlah yang termahal di Indonesia. Tarif termahal adalah Tol Batang-Semarang yang dipatok dengan harga Rp 1.500 per kilometer. Namun poin penting sesungguhnya, bukan soal besaran tarif tol semata yang dianggap mahal. Tapi juga soal penetapan tarif Tol Balsam. Yang tanpa melibatkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Yang notabene juga turut memberikan kontribusi sebesar Rp 3,3 triliun dalam APBD. Untuk pembangunan jalan tol tersebut.

TARIF TOL

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, wewenang penyelenggaraan jalan tol yang mencakup pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pembinaan jalan tol, sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Jadi penentuan tarif tol, mutlak kewenangan pemerintah pusat. Yang diatribusikan langsung dalam undang-undang.

Lantas bagaimana mekanisme penetapan tarif tol tersebut? Berdasarkan ketentuan undang-undang, ada dua skema penetapan tarif tol. Pertama, penetapan tarif oleh menteri berdasarkan rekomendasi Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Skema ini dilakukan pasca pembangunan jalan tol. Atau ditetapkan bersamaan atau setelah pengoperasian jalan tol.

Kedua, penetapan tarif berdasarkan perjanjian pengusahaan jalan tol. Jadi besaran tarif dinegosiasikan sebelum pembangunan jalan tol dilakukan. Adapun mengenai pemberlakuannya secara resmi, akan ditetapkan kemudian bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tol tersebut.

Skema yang digunakan dalam penetapan tarif tol Balsam adalah skema penetapan tarif berdasarkan rekomendasi BPJT. Pasca pengoperasian jalan tol. Lantas parameter apa yang digunakan oleh BPJT dalam merekomendasikan besaran tarif? Berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, juncto Pasal 66 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, penetapan tarif tol ditentukan berdasarkan tiga elemen: kemampuan bayar pengguna jalan (ability to pay), Besaran Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan (BKBOK), dan kelayakan investasi.

Pertanyaannya, bagaimana model dan cara perhitungan terhadap ketiga elemen tersebut? Apakah sudah dijelaskan secara detail oleh BPJT sebagai pihak yang diberikan mandat untuk menghitung besaran tarif tol, sebelum ditetapkan oleh menteri? Untuk menghindari polemik berkepanjangan, proses kebijakan penentuan tarif ini mesti dilakukan secara terbuka, transparan, dan partisipatif.

Secara etik, meski kewenangan penetapan tarif tol ada di tangan pemerintah pusat, idealnya pemerintah daerah tetap harus diberikan ruang partisipasi untuk turut serta membicarakan penentuan tarif tol beserta segala dinamikanya. Bagaimanapun, dana Rp 3,3 triliun APBD Kaltim yang dikontribusikan untuk pembangunan jalan Tol Balsam adalah fakta yang sulit dinafikan. Meski tidak ada aturan (norma) yang mewajibkan konsultasi dengan pemerintah daerah sebelum penetapan tarif, tapi prinsip pengambilan kebijakan secara demokratis harus dipertimbangkan. Sebab dalam menjalankan roda pemerintahan, berlaku prinsip, “Setiap pejabat tidak hanya diharuskan taat terhadap norma. Tetapi juga mesti tunduk terhadap asas atau prinsip-prinsip umum (general principle) penyelenggaraan pemerintahan yang baik”. Jadi hal yang wajar dan beralasan jika protes keras dilontarkan oleh berbagai stakeholder di Kaltim. Terhadap penetapan tarif Tol Balsam yang dinilai mahal tersebut.

KOREKSI TARIF

Karena tarif Tol Balsam tersebut ditetapkan melalui Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (beschikking), dalam hal ini melalui Keputusan Menteri PUPR Nomor 534 Tahun 2020, maka sistem koreksi terhadap keputusan penetapan tarif tol tersebut hanya bisa dilakukan melalui dua cara atau metode. Pertama, koreksi yang dilakukan oleh pembuat keputusan. Dalam hal ini Menteri PUPR. Kedua, koreksi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dengan melihat kondisi subjektif stakeholder di Kaltim, maka cara pertama yang paling mungkin untuk dilakukan. Harus ada upaya serius untuk mendorong Menteri PUPR melakukan koreksi terhadap keputusan penetapan tarif Tol Balsam yang dinilai mahal. Tetapi semua ditentukan oleh seberapa besar posisi tawar (bargaining position) Kaltim di hadapan Menteri PUPR sebagai pemegang kebijakan. Untuk itu, perlu soliditas antara pemerintah provinsi, DPRD, serta wakil-wakil Kaltim di Senayan. Jangan sampai wakil Kaltim di Jakarta bersuara kencang. Namun justru kendor di daerah. Begitu pun sebaliknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: