Menjaring Komitmen dalam Pembelajaran Daring

Menjaring Komitmen dalam Pembelajaran Daring

OLEH: ARIS SETIAWAN*

Dunia pendidikan merupakan salah satu ruang dalam kehidupan manusia. Ia memiliki tempat tersendiri dalam hirarki kebutuhan kita sebagai individu. Demikian juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan mempunyai porsi yang mendapat perhatian cukup serius dari pemerintah. Pemerintah pusat maupun daerah secara selaras menempatkan bidang pendidikan sebagai salah satu prioritas utama. Bahkan, seperti kita ketahui dalam anggaran belanja negara pun pendidikan merupakan prioritas utama. Ia mempunyai porsi yang cukup besar: 20 persen dari APBN/APBD.

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi rujukan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Setiap regulasi turunan terkait pendidikan, harus mengacu pada UU tersebut.

Termasuk pula pelaksanaan pendidikan di era transisi pandemi ini. Harusnya ada payung hukum yang secara tegas menaungi pelaksanaannya. Secara operasional prosedural tentunya harus sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Skema new normal harus mempertimbangkan banyak hal. Apalagi jika diterapkan di bidang pendidikan. Hal tersebut terkait dengan anak-anak sebagai penerus bangsa yang harus dilindungi dari penyebaran COVID-19.

Pandemi COVID-19 telah memaksa kita untuk melakukan akselerasi digital. Nyaris dalam semua lini kehidupan. Baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Termasuk juga dunia pendidikan. Saat ini, kita dihadapkan dengan tantangan baru: pembelajaran daring. Sebuah metode dan pola pembelajaran yang mengedepankan penggunaan teknologi informasi. Internet menjadi salah satu basis piranti dasar dari sarana yang diperlukan. Gawai menjadi alat utama yang nyaris wajib dimiliki. Pelbagai aplikasi pembelajaran daring yang sudah ada terus mengalami pengembangan dan revolusi. Beragam metode pembelajaran daring pun terus mengalami pembaharuan.

Berbicara pendidikan di masa pandemi, serta era new normal, tentu menjadi hal yang menarik. Beragam opini bisa dibangun. Pelbagai argumen bisa dikemukakan. Ya, salah satunya terkait pembelajaran daring. Secara faktual, bisa kita jumpai banyak sekali hambatan yang ditemui dalam proses pengimplementasiannya: belum terpenuhinya sarana penunjang. Semisalnya jaringan, aplikasi software pendukung, pola implementasi, parameter penilaian, metode evaluasi, dan lain sebagainya. Tak kalah pelik yaitu masalah keterbatasan brainware.Semisal operator program. Sebagai juru mudi atau tenaga operasional yang menjalankan program. Masalah yang bersifat psikologis baik dari pihak guru maupun siswa. Kegagapan akan penguasaan teknologi pendukung tersebut, serta dilematisnya pemberian gawai pada anak, yang rentan untuk disalahgunakan.

Pembelajaran daring di Indonesia masih bersifat parsial. Masih jauh dari kata totalitas. Belum semua guru, siswa, dan sekolah terkoneksi secara integral dalam pembelajaran daring. Bahkan, bisa dikatakan konektivitas ruang-ruang pembelajaran kita baru “se-kuku hitam” dari yang semestinya. Pun demikian, kita perlu menakar komitmen para guru dalam pembelajaran daring. Terlepas dari apakah jenis pembelajaran ini telah diimplemetasikan secara luas atau belum.

Seperti kita pahami bersama, pembelajaran daring terbagi dua: synchronus dan anynchronus. Synchronus merupakan proses belajar dengan waktu yang bersamaan atau real time. Yaitu pengajar bisa saling berinteraksi secara online dengan pelajar. Belajar seperti ini bisa dilakukan dengan aplikasi Zoom, Google Meet, dan yang lain. Sedangkan anynchronus adalah proses belajar dengan melihat materi yang sudah disiapkan sebelumnya. Dalam bentuk video pembelajaran. Peningkatan jumlah pengguna startup teknologi pendidikan di Indonesia juga melonjak. Hal ini karena anak-anak lebih tertarik dengan konten dan materi yang tersedia di startup tersebut.

MENDIDIK MENTAL DI MASA NEW NORMAL

Setiap masa mempunyai masalah dan tantangan yang berbeda. Masuknya era globaliasi telah menjadi bagian dari dunia yang tak bisa dielakkan. Perkembangan dunia masuk tanpa batas negara dan budaya. Seperti perkembangan dan kemajuan teknologi, pergeseran norma sosial, dll. Hal tersebut tentu menjadi tantangan yang berat bagi guru. Khususnya dalam membangun mental siswa di masa new normal. Lantas bagaimana cara yang harus diterapkan guru untuk mendidik anak didiknya?

Pembentukan mental tentu tidak bisa lepas dari pendidikan karakter. Mentalitas bisa dibangun melalui pendidikan karakter secara simultan dan berkelanjutan. Pendidikan mental secara tidak langsung tersirat melalui grand design pendidikan karakter. Adapun pendidikan karakter menurut Muchlas Samani merupakan nilai-nilai utama yang akan dikembangkan dalam budaya satuan pendidikan formal dan non-formal: jujur, tanggung jawab, cerdas, sehat dan bersih, peduli, kreatif, dan gotong royong.

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat (1) menerangkan definisi guru, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon (2001:78-89) dijelaskan bahwa, “Teacher is profesional person who conducts classes.” Artinya, guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas. Sedangkan Jean  D. Grambs dan  C  Morris  Mc. Clare (2003: 210) dalam Foundation of Teaching, An Introduction to Modern Education menjelaskan, “Teacher are those persons who consciously direct the experiences and behavior of an individual so that education takes places.”Artinya, guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan.

PENTINGNYA LITERASI DIGITAL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: