Politisasi Bansos COVID-19 di Pilkada Serentak
OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*
Meski menuai banyak kritikan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akhirnya diputuskan untuk dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun tahapan, program, dan jadwal pelaksanaan Pilkada serentak tersebut. Melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Walikota Tahun 2020 (PKPU 5 Tahun 2020). Berdasarkan PKPU 5 Tahun 2020 tersebut, tahapan Pilkada serentak resmi dilanjutkan kembali mulai 15 Juni 2020.
Artinya, tahapan Pilkada serentak ini dilanjutkan di tengah pandemi COVID-19. Kondisi di mana kita masih berjibaku melawan virus mematikan, yang hingga tulisan ini dibuat, angka kasus positif per hari di Indonesia belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan. Hingga Kamis (18/6), terdapat 41.431 kasus positif COVID-19. Dengan jumlah kasus per hari (daily case) mencapai 1.106 orang. Ini juga sekaligus berarti pelaksanaan tahapan Pilkada serentak akan dilakukan di saat krisis sosial-ekonomi melanda warga negara.
Dalam situasi krisis pandemi ini pula, mobilisasi bantuan sosial (bansos), terutama untuk warga terdampak COVID-19, terus dilakukan di berbagai daerah. Namun mobilisasi bansos ini dikhawatirkan dimanfaatkan oleh pejabat tertentu. Terutama petahana. Untuk meraih simpati menjelang Pilkada serentak.
POLITISASI BANSOS
Pertanyaan sederhananya kira-kira begini, siapa yang paling memungkinkan menggunakan bansos untuk kepentingan Pilkada serentak? Tentu saja petahana. Pihak petahanalah yang memiliki seluruh perangkat untuk memobilisasi bansos. Untuk kepentingan Pilkada serentak. Dari 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak, terdapat 200 petahana yang berpotensi maju dan bertarung kembali. Dengan demikian, porsi pengawasan kita juga mestinya lebih banyak diarahkan kepada pihak petahana.
Namun bukan berarti politisasi serupa tidak bisa dilakukan orang-orang di luar petahana. Siapa pun berpotensi melakukan upaya serupa, sepanjang memiliki “akses dan kewenangan” dalam lalu lintas pengelolaan bansos COVID-19. Namun lagi-lagi pihak petahanalah yang memiliki saham mayoritas atas akses dan kewenangan tersebut.
Secara normatif, larangan petahana untuk menggunakan kewenangan, program, ataupun kegiatan yang menguntungkan dirinya. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada). Dalam ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU tersebut dinyatakan, “Gubenur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Walikota, dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih”.
Mungkin ada yang mempersoalkan frase “pasangan calon” dalam norma tersebut. Yang berarti harus didahului dengan penetapan pasangan calon oleh KPU. Dengan demikian, hanya dengan penetapan pasangan calon oleh KPU inilah, maka unsur di dalam pasal tersebut terpenuhi.
Namun harus kita ingat, bahwa membaca norma itu tidak hanya sekadar letterlijk semata. Tetapi mesti dengan kerangka penafsiran yang kuat dan memadai. Pertama, jika kita menggunakan “penafsiran historis” terhadap pasal tersebut, maka norma larangan (verbod) dalam ketentuan ini jelas merujuk kepada petahana sebagai subjek hukum. Terlepas di kemudian hari petahana ditetapkan sebagai pasangan calon atau tidak. Pasal 71 ayat (3) sebelum perubahan, secara eksplisit menyebutkan, “Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan pemerintahan daerah untuk kegiatan pemilihan enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir”.
Kedua, jika kita menggunakan “penafsiran sistematis dan logis”, maka pasal tersebut harus dibaca utuh. Bukan hanya sekadar frase pasangan calonnya saja. Misalnya dengan membaca frase “dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon”. Ini jelas menunjukkan waktu (tempus) keberlakuan norma. Yang berarti tidak harus didahului dengan penetapan pasangan calon oleh KPU. Untuk dikategorikan memenuhi unsur atau tidak.
JALAN KELUAR
Jika terjadi perdebatan terhadap penafsiran norma Pasal 71 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang seharusnya bisa digunakan dalam menjerat upaya politisasi bansos COVID-19 oleh petahana dan yang lainnya, maka kita juga tidak boleh hanya mendiamkan kejahatan yang berlindung di balik “norma yang multi-tafsir” itu terjadi begitu saja. Setidaknya ada model pendekatan yang bisa dilakukan dalam upaya mencegah politisasi terhadap bansos COVID-19 tersebut.
Pertama, pendekatan struktural. Pejabat di atasnya secara bertingkat dapat menggunakan fungsi supervisinya. Untuk memberikan peringatan serius terhadap petahana. Yang diduga memanfatkan bansos COVID-19 ini. Untuk kepentingan Pilkada serentak. Untuk tingkat provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: