Muhammad Irsanie; Pengabdi Negara, Pelindung Buaya

Muhammad Irsanie; Pengabdi Negara, Pelindung Buaya


ARJUNA MAWARDI, BERAU

Aparatur Sipil Negera (ASN) ini menghabiskan setengah hidupnya menjaga keseimbangan alam. Ia melindungi manusia dari buaya dengan cara: melestarikan buaya. Miliaran rupiah dari keringatnya sendiri dipakai untuk mencegah predator air tawar mengganggu warga. Juga sebaliknya. Berharap ada penerus di akhir masa pengabdiannya.

Sambaliung di Kabupaten Berau merupakan salah satu kecamatan yang punya sejarah panjang. Di daerah ini, berdiri salah satu kerajaan tertua Nusantara, Kerajaan Sambaliung. Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kesultanan Sambaliung berdiri sejak Kesultanan Berau pecah.

Pada tahun 1810, Kesultanan Berau terbagi menjadi dua, yakni Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Menurut catatan, Sultan Sambaliung pertama bergelar Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam.

Bukti keberadaan kesultanan itu ialah Keraton Sambaliung yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Di halaman keraton tampak buaya raksasa sepanjang 4 meter yang diawetkan. Itulah buaya badas yang banyak ditemukan di wilayah Sambaliung. Pada masa lalu, predator berdarah dingin itu dianggap sebagai pelindung Sambaliung.

Keberadaan buaya badas pernah terancam punah. Perburuan besar-besaran sempat merebak di Berau pada dekade 1990. Masyarakat yang percaya dengan khasiat buaya, memburu reptil ganas itu. Tren mode saat itu menjadikan kulit buaya sebagai salah satu komoditas perdagangan bernilai tinggi.

Belum lagi, dagingnya dipercaya mampu mengobati beragam penyakit, sampai menambah stamina. Bahkan, masyarakat meyakini tangkur (kelamin) buaya punya daya mendongkrak vitalitas pria. Bagian tubuh buaya juga diekstrak menjadi minyak gosok. Sedangkan taringnya dijadikan hiasan.

Akibatnya, populasi badas hitam terancam punah.
Perburuan binatang dengan nama latin Crocodylus siamensis tak terbendung. Hampir saban malam, ada saja warga yang melakukan perburuan di sepanjang bantaran sungai Sambaliung.
“Akhirnya saya berpikir, kalau diburu terus, anak cucu saya nanti cuma tahu nama, tapi tak bisa melihat wujud aslinya lagi,” kata Irsanie.

Pada 1999, dia memutuskan bikin penangkaran buaya. Kandang buaya itu, ujar Irsanie, untuk menampung buaya yang ia beli dari para pemburu. Tujuannya untuk melindungi, agar suatu saat bisa dilepas kembali.

Tapi kabar soal adanya pembeli buaya semakin meningkatkan perburuan. Pemburu menjadikan kesempatan itu sebagai lahan meraup rupiah. Mau tak mau setiap kali usai membeli buaya Irsanie selalu mengingatkan jangan ada lagi perburuan. Tapi masih ada saja yang menangkap reptil ganas itu.
Setidaknya, kata peraih Kalpataru ini, terlihat dari banyaknya buaya yang ia tangkar. “Saat itu, jumlahnya mencapai 300 ekor,” ucap Irsanie. Tapi jumlah itu bukan hasil pembelian dari pemburu. Sebagian hasil tangkapan dari perkampungan supaya tak mengganggu warga.

Habiskan Miliaran untuk Beli Pakan Badas
Semenjak pensiun dari aparatur sipil negara tahun 2018, Irsanie mengaku sudah tak sanggup lagi membelikan pakan. Berbeda ketika peliharaannya masih berusia bulanan, pakannya hanya udang kecil yang mudah ditemukan di bantaran kali. Ia hanya butuh berjalan kaki beberapa puluh meter dari rumahnya saat matahari mulai terbenam.

Tapi usia buaya terus bertambah. Ukuran tubuhnya pun membesar. Udang tak mampu lagi mengatasi rasa lapar. Sasaran berikutnya adalah ayam. Dalam seminggu, Irsanie harus merogoh kantong cukup banyak. Ia harus merelakan sebagian gajinya sebagai ASN mengalir ke empang.
Tak kurang Rp 1 juta dikeluarkan buat ngasih makan buaya. “Uang itu hanya mampu membeli makan untuk 2-3 kali saja dalam seminggu,” kata Irsanie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: