Ironi Samarinda; Sering Banjir, Air PDAM Malah Tak Mengalir

Ironi Samarinda; Sering Banjir, Air PDAM Malah Tak Mengalir

Cerita Banjir di Samarinda masih akan panjang kisahnya. Tapi ups.., ada ironi. Ternyata di tengah debit air melimpah itu, beberapa warganya masih kesulitan mendapatkan akses air bersih PDAM lho. Mengapa?   --------------------  LIDYA Octavia Rende, warga Jalan Kesehatan, Kelurahan Temindung Permai masih waswas. Terutama jika terjadi hujan deras dalam waktu yang relatif lama. Seperti Kamis (28/5) kemarin. Kurang lebih enam jam hujan mengguyur Kota Tepian. Sejak pukul 04.00 Wita. Padahal, sehari sebelumnya banjir di Samarinda mulai surut. “Walaupun air belum naik lagi. Tapi kami khawatir kalau kembali meninggi kayak kemarin,” kata Lydia. Menurutnya, jika dibandikan dua banjir sebelumnya, kali ini debit air lebih tinggi. Sebelumnya hanya sampai paha orang dewasa. Kalau sekarang sudah sampai pinggang. Hanya saja, banjir kali ini masih bisa diantisipasi. Karena, masuknya air lebih lambat dari sebelumnya. Kalau banjir yang terjadi 2019 lalu, masuknya air lebih deras. Sehingga, tidak sempat untuk menyelamatkan barang elektronik. Ataupun barang berharga lainnya. Bersyukur, rumah Lydia dua lantai. Sehingga, dia bersama keluarganya tidak harus mengungsi. Seperti beberapa tetangga lain di sekitar rumahnya. Banjir biasanya ditemani pemadaman listrik. Hanya genset menjadi harapan ibu satu orang anak ini. Pembangkit listrik mini ini dia gunakan hanya pada saat malam hari. Itupun, beberapa jam saja. Sisanya dia menikmati malam ditemani sinar dari rembulan. Beda halnya dengan Bagus Yudha Pratama. Warga Jalan Pemuda IV, Kelurahan Temindung Permai ini terpaksa batal merayakan hari raya Idulfitri 1441 Hijriah bersama keluarga. Padahal, semua persiapan sudah dilakukan. Termasuk makanan untuk menyambut tamu yang datang. Nahas, Minggu (24/5/2020) dini hari, sekitar pukul 03.00 Wita, ia terbangun setelag air masuk ke dalam rumah. Makanan yang telah disiapkan pun terendam banjir. “Sudah tidak sempat lagi diselamatkan,” sesalnya. Debit air pun terus bertambah. Sampai setinggi perut orang dewasa. Mau tidak mau, ia bersama kedua orangtuanya harus bertolak ke rumah kerabat. Sesekali Bagus melihat kondisi rumahnya. “Setiap hari saya kesini (Rumahnya). Ya, sekadar liat kondisi air saja. Tapi, sekarang saya dan keluarga sudah kembali ke rumah. Karena, debit air sudah berkurang,” tambahnya. Kondisi yang sama juga dialami Wahyudi (57). Warga perumahan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Utara. Ia bersama istrinya harus ngungsi di rumah anaknya yang tidak jauh dari kediamannya. Tapi, setiap hari ia terus memantau kondisi rumahnya. “Sejak banjir kemarin saya sudah tinggal di rumah anak saya. Saya kesini paling hanya liat-liat saja. Rumah anak saya dekat sini saja. Tapi, memang posisinya tinggi. Jadi tidak terkena banjir,” terangnya. Kepala Bappeda Samarinda, Ananta Fathurozi kepada Disway Kaltim, Kamis (28/5) kemarin mengatakan, selalu saja ada hambatan untuk melakukan penanganan banjir Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Karang Mumus (SKM). Antara lain di kawasan Griya Mukti, Sempaja. Proyek penurapan sempat diprotes Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM lingkungan itu berdalih ingin mempertahankan dinding alam yang dimiliki sungai tersebut. “Pengerjaannya ini sekarang terhenti. Selain karena andemic COVID-19, juga ada protes dari beberapa pihak,” kata Ananta Fathurozi kepada Disway Kaltim, kemarin. KESULITAN AIR Sementara itu, warga Perum Bumi Sempaja City lebih kompleks ceritanya. Selain merasakan banjir di kompleks perumahan itu, juga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih dari PDAM. Rina Juwita, warga perumahan itu mengeluhkan soal giliran untuk mendapatkan air PDAM. Yang terkadang selang waktunya terlalu lama. “Itupun kadang gilirannya tengah malam atau menjelang dini hari, air baru keluar,” katanya. Mayoritas warga di komplek perumahan itu juga memiliki pompa penyedot air. Karena jika tidak begitu, lebih sulit lagi untuk mendapatkan air. “Bertaburan air di luar, tapi kering di dalam rumah. Itu sudah,” ucapnya singkat. Hal yang sama terjadi pada Nurliah. Warga Jalan Padat Karya Perum Tirta Persada, Sempaja Utara. Kendati kediamannya tak kebanjiran, namun selama lima hari sejak 23 Mei Sore hingga 28 Mei malam, air PDAM di rumahnya tak mengalir total. Padahal 23 Mei merupakan malam menjelang Lebaran. Biasanya Nurliah mempersiapkan hari kemenangan dengan membersihkan rumah serta memasak berbagai hidangan Lebaran. “Kebutuhan air untuk mempersiapkan Lebaran tentu sangat banyak. Ironisnya, para pelanggan PDAM harus gigit jari tak bisa berbuat banyak untuk menghidangkan menu kegemaran keluarga gara-gara air PDAM mati total,” terangnya. Nurliah mengatakan, harusnya persediaan air bisa didapat dari tampungan tandon, namun sejak beberapa hari pula, air tak bisa naik ke tandon karena aliran air PDAM sudah sangat kecil. Alhasil, ketika air PDAM mati total, tak ada persediaan air sama sekali. “Yang paling menyedihkan pula, kami tak bisa mandi untuk salat Idulfitri,” ujar Nurliah, kesal. Nurliah sangat menyayangkan pelayanan perusahaan negara yang tak mampu melayani masyarakat, terutama di hari-hari penting. Padahal, sebagai warga Negara, Nurliah mengaku sudah membayar air PDAM secara tepat waktu. Namun, ternyata PDAM tak membalas dengan pelayanan yang maksimal. Nurliah berharap suatu saat pemerintah bisa memasukkan investor perusahaan air minum sebagai alternatif pesaing PDAM. “PDAM berkinerja buruk karena dia tak punya pesaing. Sebaiknya memang PDAM ini sudah harus ada kompetitornya. Kita lihat siapa yang bakal diminati oleh pelanggan. Saya sendiri yakin PDAM akan ditinggalkan pelanggan,” beber Nurliah. Sebenarnya keluhan Nurliah, sudah muncul pada Juli 2019. Dari sejak pemakaian tahun 2015 hingga Mei 2019. Nurliah mengaku pembayaran hanya antara Rp 40 ribu – Rp 50 ribu. Namun Juli 2019, Nurliah kaget karena harus membayar Rp 130 ribu. Anehnya naik lagi hingga Rp 230 ribu pada bulan Agustus. “Hingga akhirnya saya protes ke nomor Humas PDAM pada Februari 2020. Sempat turun di mana saya bayar hanya Rp 80 ribu. Ini wajar. Lalu bulan berikutnya naik lagi jadi Rp 120 ribu dan naik lagi Rp 150 ribu lebih,” ucapnya. Yang anehnya, menurut dia, setelah dia protes pada Februari 2020 tersebut, esoknya ada staf lapangan yang mengecek meteran air. Padahal selama ini, petugas meteran air tak pernah muncul. Nah, pada bulan berikutnya, tak pernah lagi terlihat batang hidung petugas pemeriksa meteran itu. “Selama work from home saja, saya tak pernah melihat ada petugas pemeriksa meteran,” ucapnya. Nurliah lalu mempertanyakan, bagaimana PDAM melakukan penghitungan pemakaian air, jika petugas tak melakukan pemeriksaan. “Saya sempat nanya juga ke Humas PDAM, apakah ada alat yang terhubung langsung dari meteran pelanggan ke mesin pencatat pemakaian air PDAM. Jawabannya mereka hanya mengandalkan petugas pemeriksa meteran. Nah, lantas jika kita tak pernah melihat petugas pemeriksa meteran, bagaimana PDAM bisa menentukan jumlah pemakaian pelanggan per bulan. Ini pertanyaan bagi orang yang berpikir,” ujarnya. ALAT TUA Ketika dikonfirmasi Disway Kaltim, Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumdam) Tirta Kencana Samarinda mengakui, jika alat penyedot air yang mereka miliki tidak sanggup untuk menyedot air dalam jumlah besar. Karena alat yang mereka miliki sudah sangat tua. Butuh peremajaan alat. Otomatis, kenerja untuk melakukan penyedotan sudah menurun. “Anggaplah, awalnya bisa menyedot 200 liter perdetik, sekarang bisa mencapai 150 atau bahkan 100 liter per detik. Kemampuan untuk naik ke Instalasi Pengolahan Air (IPA) pun menurun,” terang Direktur Teknik Perumdam Tirta Kencana Samarinda, Ali Rachman. Menurut Ali, Perumdam ini sudah melakukan pemesanan alat. Untuk melakukan renovasi penyedot air di Jalan Gajah Mada. Tepatnya di Kantor Gubernur Kaltim. Kapasitas penyedotnya bisa mencapai 350 liter per detik. “Mudahan Agustus 2020 ini alat itu sudah sampai,” harapnya. Jadi, kata dia, bukan karena bahan baku yang minim. Melainkan, IPA dan alat yang sangat kurang. Tapi, untuk mengatasi kondisi tersebut, Perumdam ini harus menambah kapasitas produksi sampai 40 persen. Nambah kapasitas, pastinya harus memperbesar daya sedot. Karena alat tersebut memerlukan aliran listrik yang besar, harus menggunakan kabel khusus. Saat ini kabel tersebut sudah datang. Tinggal menunggu pompa yang telah di pesan datang. Beberapa daerah memang sudah dilakukan penambahan kapasitas. Tapi, memang belum bisa maksimal. Pembangunan IPA membutuhkan anggaran yang sangat besar. Perumdam dengan anggaran yang dimiliki tidak sanggup. Harus ada partisipasi oleh pemerintah daerah. Kota maupun provinsi. Karena, anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan miliar. “Antisipasi yang bisa kita lakukan hanya penambahan beberapa kapasitas. Karena kondisi COVID-19 anggaran kita pun dipangkas 50 persen lebih. Sesuai aturan yang ditetapkan. Tapi, kalau rencana yang dilakukan bisa selesai tahun ini, 2021 nanti mudah-mudahan, tidak ada penjatahan distribusi air ke masyarakat,” ungkapnya. Menurut data, di Kota Tepian baru 70 persen masyarakat yang mendapatkan pelayanan air bersih. Karena, memang jangkauan IPA tersebut tidak bisa mencapai daerah tersebut. Seperti yang dialami oleh warga di daerah Makroman. Masih ada yang belum mendapat aliran air. “Kalau tidak ada halangan, di daerah Makroman akan dibangun IPA. Itu pemerintah kota yang akan bangun. Walaupun anggarannya dipotong. Tapi, seperti apapun itu, kita targetkan tahun ini sudah bisa beroperasi. Kasihan mereka. Susah air,” pungkasnya. (mic/nad/dah)        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: