Kenaikan BPJS Kesehatan, Apakah Ada Opsi Lain?

Kenaikan BPJS Kesehatan, Apakah Ada Opsi Lain?

Setiap ada kenaikan pasti ada penolakan. Begitulah yang dialami BPJS Kesehatan. Yang rencananya akan menaikkan tarif Juli nanti. Apakah kenaikan itu menjadi pilihan satu-satunya? Atau ada opsi lain? Berikut ulasannya. ------------------- AGENCY Manager PT AXA Financial Indonesia, Muhammad Syafiq mengatakan, premi yang diberikan BPJS Kesehatan relatif murah meski mengalami kenaikan. “Karena untuk ambil iuran asuransi kesehatan swasta agak mahal, namun sesuai dengan kualitas dan pelayanannya,” ucapnya kepada Disway Kaltim, kemarin. Yang membedakan asuransi swasta dan BPJS Kesehatan adalah dari premi dan plafon. Penawaran plafon bagi peserta asuransi swasta juga berbeda. Plafon pelayanan sesuai jangkauan rumah sakitnya. “Misal kalau di AXA untuk plafon dalam negeri plafon sebesar Rp 10 miliar dalam setahun. Kemudian Asia Rp 20 miliar,” sebut Syafiq. Dengan premi yang  dibayarkan tersebut, maka pihaknya mengaku asuransi swasta tidak alami defisit atau hutang kepada rumah sakit. “Perhitungannya sangat kuat. Artinya enggak mau jual murah tapi enggak bisa bayar,” tandasnya. Dia menilai naiknya iuran BPSJ Kesehatan tak akan pengaruhi peserta yang sudah merasakan pelayanannya. “Saya kira orang-orang yang terbiasa dengan pelayanan BPJS maka tidak peduli dengan kenaikan. Yang akan berpikir ini yang tidak sakit, dia akan berpikir untuk mempertimbangkannya,” terangnya. Karena biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dari iuran yang dikeluarkan. Dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan, pihaknya sebagai agency tentu tetap memberikan penawaran kepada nasabah atau calon nasabah sesuai kualitas pelayanannya. “Pelayanannya akan berbeda dan tidak ada kelas III,” imbuhnya. Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan baru itu seolah merespons putusan Mahkamah Agung No.7 P/HUM/2020 bertanggal 31 Maret 2020. Putusan ini merupakan dasar hukum batalnya kenaikan iuran bagi peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Setelah putusan diunggah, maka pemerintah memiliki waktu 90 hari untuk membuat peraturan baru atau keputusan MA berlaku pada hari ke-91. Putusan MA itu bermakna bahwa ketentuan tentang besaran iuran BPJS Kesehatan dikembalikan kepada dasar hukum yang sebelumnya, yakni Perpres Nomo 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Namun belum sampai 90 hari, aturan baru sudah dikeluarkan Presiden Jokowi. Tepatnya pada 5 Mei 2020 pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres 64/ 2020. Berdasarkan beleid baru ini, iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000,. Peserta mandiri kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000. Kemudian, iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta kelas III adalah Rp 35.000. Rencananya, kebijakan ini akan mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Penaikan kembali iuran pasca putusan MA ini dikritik berbagai kalangan. Namun Deputi Direksi Wilayah BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara (Kaltimseltengtara), C. Falah Rakhmatiana menilai keputusan Presiden sudah tepat. “Yang dipersoalkan di MA itu adalah premi kelas III. Di perpres baru itu, premi kelas III sebenarnya tidak naik. Hanya nominalnya naik, tetapi sisanya dibayarkan pemerintah,” kata Falah Rakhmatiana. Bagi masyarakat mandiri kelas III tidak ada perubahan, tetap membayar sebesar Rp 25.500. Falah mengatakan, BPJS Kesehatan mengalami problem keuangan akut. Hal ini karena jumlah peserta yang besar, tidak diimbangi dengan kepatuhan membayar iuran. Akibatnya, cash in lebih sedikit dari cash out. “Coba Anda bayangkan. Tahun lalu jumlah pengguna JKN mencapai 750 ribu orang per hari. Sudah berapa besar itu tagihan rumah sakitnya?,” ungkap Falah. Karena itu, kata dia, pemerintah harus menyeimbangkan income dengan pengeluaran, “Supaya program ini sustain. Lha kalau cash in nya lebih kecil bagaimana bayar tagihan rumah sakit? Sementara tagihan datang terus. Income-nya kurang.” Terhadap suara-suara kritis yang menyatakan pemerintah tega menaikkan iuran di tengah  situasi COVID-19, Falah menangkis. “Justru kalau tidak sustain (keuangan), banyak masyarakat yang tidak terlayani.” BPJS menilai perhatian pemerintah sudah cukup besar dengan memberikan subsidi premi masyarakat mandiri sebesar Rp 16.500. Kemudahan lain yang tercantum dalam peraturan baru ialah kemudahan aktivasi kartu. Jika aturan sebelumnya pemegang kartu harus membayar hutangnya selama dua tahun. Saat ini hanya bayar enam bulan dan kartu langsung aktif. “Hutang tidak hilang, itu merupakan relaksasi.” Terkait peraturan baru yang akan berlaku Juli tahun ini, BPJS Kesehatan telah menyiapkan sistem penagihan dengan matang. Jika masih terdapat kelebihan pembayaran, BPJS berjanji akan memproses setiap transaksi. “Kalau tidak cocok tinggal lapor.” Putusan MA memang tidak berlaku surut. Artinya masyarakat yang sudah terlanjur membayar kenaikan dua kali lipat, tidak akan dikembalikan. Pengembalian hanya dikenakan pada tagihan bulan April. Untuk mengantisipasi dampak penurunan kelas, BPJS Kesehatan wilayah Kaltimseltengtara akan memberi kelonggaran. Masyarakat yang merasa tidak mampu dipersilakan mengajukan penurunan kelas. Sampai saat ini jumlah peserta yang menunggak iuran di wilayah Kaltimseltengtara sekitar 200 ribuan. Angka ini belum beranjak sejak awal tahun. “Ini yang kita sayangkan. Banyak dari peserta yang hit and run. Artinya mereka kalau tidak sakit tidak bayar. Ketika sakit baru mau bayar,” ungkap Falah. Ia menyayangkan hal itu karena BPJS Kesehatan dibentuk sebagai konsep gotong-royong. Masih hitung untung rugi. Harusnya pada saat sehat tetap membayar dan jangan dijadikan beban pengeluaran. “Masa, saat sakit mau menggunakan dana bantuan orang lain, pas sudah sehat tidak mau membantu?” Falah menilai masyarakat harus mengubah pola pikir supaya program ini berhasil. “Kalau dalam Islam, anggap saja sedekah saling bantu, bukan beban.” Saat ini, menurut Falah, gap tunggakan ke rumah sakit masih cukup besar, sehingga diperlukan cash in supaya program ini terus berjalan. Perbaikan Manajemen dan Audit Tapi apakah penaikan iuran solusi tunggal? “Oh tidak. Kami melakukan perbaikan manajemen klaim. Terutama dalam hal mengurangi fraud, moral hazard. Itu dilakukan,” jawab Falah. Tapi strategi itu belum mampu menutup gap tagihan rumah sakit yang cukup tinggi. Menurut dia, persoalan cash in tidak bisa menunggu. Karena berkaitan dengan layanan. Sehingga perlu diseimbangkan dulu antara pemasukan dengan belanja. “Kami juga punya cara lain, yakni mereduksi dan memitigasi potensi fraud penyalahgunaan, baik oleh peserta, maupun rumah sakit,” kata dia. Namun langkah-langkah tersebut berdampak jangka panjang.   BPJS Kesehatan, kata Falah Rakhmatiana, juga memperketat investigasi audit klaim, serta menurunkan belanja. Audit klaim yang telah berjalan tidak signifikan mempersempit gap utang yang dimiliki. “Itu prospektif ke depan. Posisi sekarang kan punya hutang, kan nggak bisa ditunda,” ujarnya. Selain itu, BPJS Kesehatan juga terkena beban denda sebesar 1 persen jika  terlambat melakukan pembayaran. Sebelumnya telah merencanakan penyelesaian utang tagihan rumah sakit pada April-Mei. Namun tak terwujud karena adanya Putusan MA. (fey/dah) Daftar Nilai Hutang Klaim FKTL Jatuh Tempo (Yang belum bisa diselesaikan hingga 18 Mei 2020) No          Unit Kerja                                            Total Hutang Klaim Jatuh Tempo

  1. Provinsi Kaltim                                                  Rp 75,909,905,532
  2. Provinsi Kaltara                                                 Rp 15,014,197,237
  3. Provinsi Kalteng                                                Rp 14,516,841,924
  4. Provinsi Kalsel                                                   Rp 61,690,459,573
Total Hutang Klaim jatuh Tempo                            Rp 167,131,404,269   Cakupan Peserta Per 1 April 2020
  1. Provinsi Kalimantan Timur 3,399,478.00
  2. Provinsi Kalimantan Utara   641,387.00
  3. Provinsi Kalimantan Selatan 3,196,297.00
  4. Provinsi Kalimantan Tengah 2,224,808.00
Total                                                                      9,461,970.00   Jumlah Peserta Nunggak Kab/Kota                             Peserta Menunggak                       Piutang Iuran Kaltim                                   419,186                                 Rp 233,745,709,334 Kalteng                                 188,266                                 Rp 118,857,003,092 Kalsel                                    261,475                                 Rp 142,332,063,746 Kaltara                                  77,884                                   Rp   48,460,755,931 Total                                      868,927                                 Rp 494,934,776,172  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: